Jumat, 22 November 2019

Makalah Industri Gas Alam


MAKALAH PROSES INDUSTRI KIMIA

NATURAL GAS INDUSTRY

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Proses Industri Kimia





Disusun Oleh Kelompok 1 :



1.            I Made Arimbawa
(181910401006)
2.            Bimo Bayu Aji
(181910401016)
3.            Kiki Kurnia Sandy Arrohim
(181910401037)
4.            Sinta Dewi
(181910401041)
5.            Yakub Hendrikson M
(181910401047)
6.            Theressa Julieta Putri A
(181910401052)
7.            Irene Tiarasari
(181910401060)
8.            Evi Nadilah Giandita
(181910401066)
9.            Dewi Anggraeni Mandha
(181910401073)


Dosen Pembimbing Helda Wika                             Amini, M.Si., M.Sc.




PROGRAM STUDI REKAYASA/TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER 2019




KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul “Natural Gas Indusrty”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Proses Industri Kimia. Makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa pihak yang terus memotivasi kami hingga terselesaikannya makalah ini.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bu Helda Wika Amini, M.Si., M.Sc. sebagai dosen mata kuliah Proses Industri Kimia yang senantiasa membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah yang berjudul “Natural Gas Industry” masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami memohan maaf atas kekurangan tersebut. Kami juga mengharap segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah berikutnya. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca ataupun penelitian selanjutnya.



Jember, 17 November 2019




Penulis





BAB 1. PENDAHULUAN


1.1                    Latar Belakang

Gas alam merupakan suatu campuran yang tersusun dari gas-gas hidrokarbon (CnH2n+2) dimana gas-gas tersebut mudah terbakar dan susunan yang utama dari gas alam itu sendiri terdiri dari metana (CH4) yang merupakan molekul hidrokarbon dengan rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga merupakan sumber utama untuk sumber gas helium. Karakterisik dari gas alam pada keadaan murni antara lain tidak berwarna, tidak berbentuk, dan tidak berbau. Selain itu, gas alam mampu menghasilkan pembakaran yang bersih dan juga hampir tidak menghasilkan emisi buangan yang dapat merusak lingkungan. Selain itu gas alam juga dapat mengandung etana, propana, butana, pentana, dan juga gas-gas yang mengandung sulfur. Kontaminan (pengotor) utama dari suatu gas biasanya berupa campuran organosulfur dan hidrogen sulfida yang harus dipisahkan. Gas dengan jumlah pengotor sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai "acid gas (gas asam)" (Putri dkk, 2013).
Gas bumi merupakan sumber daya alam dengan cadangan terbesar ketiga di dunia setelah batu bara dan minyak bumi. Gas alam pada awalnya tidak dikonsumsi sebagai sumber energi karena kesulitan dalam hal transportas sehingga selalu dibakar ketika diproduksi bersamaan dengan minyak bumi. Pemanfaatan gas alam di Indonesia tidak hanya untuk transportasi dan rumah tangga saja, tetapi sekarang untuk industri. Produk dari gas alam yang digunakan adalah LPG (Liquid Petroleum Gas), CNG (Compressed Natural Gas), LNG ( Liquid Natural Gas) dan CBM (Coal Bed Methane) yang merupakan sumber non konvensional yang sedang dikembangkan di Indonesia. Di sektor gas alam, Indonesia masih tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam yang diakui dunia. Menurut data Departemen ESDM pada 2010 total cadangan gas alam Indonesia tercatat mencapai 157,14 TCF (triliun cubic feet) atau 4,449 x 1015 liter (1 ft3 = 1027 btu = 0,0283168 m3 = 0,21875 ton = 0,0001767 boe, barrel of oil equivalent). Dari jumlah tersebut, sebanyak 108,4 TCF (3,185 x 1015 liter) merupakan gas alam terbuktikan sementara 48,74 TCF (1,914 × 1015 liter) sisanya belum terbuktikan atau potensial. Indonesia memiliki cadangan gas alam yang sangat besar dan tersebar di berbagai daerah tetapi untuk saat ini sumber gas alam Indonesia baru terdapat di empat tempat saja. Keempat tempat tersebut adalah Arun (Nangroe Aceh Darussalam), Pulau Natuna, Bontang (Kalimantan Timur), dan Tangguh (Irian Jaya Barat) (Putri dkk, 2013).
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan lingkungan yang bersih dan sehat, manusia terus berupaya mengembangkan berbagai sumber energi untuk menggantikan penggunaan energi dari minyak bumi dan batu bara yang tidak ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan produksi dan penggunaan gas alam atau gas bumi. Dalam Visi 25/25, Indonesia menargetkan penggunaan gas sebesar 23 persen dari total penggunaan energi nasional pada 2025. Bahkan dalam peraturan presiden nomor 5 tahun 2006, ditargetkan sebesar 30 persen. Kelihatannya target Visi 25/25 bukan lah hal yang muluk, karena saat ini saja penggunaan gas sudah mencapai sekitar 22 persen. Saat ini gas alam digunakan sebagai bahan bakar kendaraan dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquefied Natural Gas (LNG), terutama untuk kendaraan umum di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Yang masih menjadi masalah adalah stasiun pengisian bahan bakar gas yang masih terbatas, sehingga kendaraan umum “hybrid” masih lebih banyak menggunakan bahan bakar minyak untuk beroperasi. Padahal jika sebagian besar kendaraan umum menggunakan bahan bakar gas, tingkat polusi udara Jakarta bisa ditekan. Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan, gas alam juga dapat digunakan sebagai sumber pembangkit listrik yang jauh lebih bersih dari pada minyak dan batu bara, sumber bahan baku untuk berbagai industri, seperti industri pengolahan plastik, metanol, pupuk, dan baja. Dalam skala rumah tangga, gas juga digunakan sebagai sumber energi untuk memasak dan memanaskan atau mendinginkan ruangan dan air. Bahkan gas karbon dioksida dapat digunakan untuk merekayasa cuaca (Prima, 2016).
Gas alam biasanya ditemukan di ladang gas alam, ladang minyak, dan di ladang batu bara. Namun, saat ini, terutama di Amerika Serikat telah ditemukan shale gas, yaitu gas alam yang diperoleh dari batuan shale di kedalaman lebih dari 1.500 meter. Berbeda dengan gas alam ‘konvensional’, untuk mengambil shale gas diperlukan proses khusus yang disebut rekah hidrolik, yaitu pengeboran ke dalam bumi, baik secara vertikal maupun horisontal dengan menggunakan air, bahan butiran seperti pasir propan dan beberapa bahan kimia lain agar gas keluar lewat pori-pori batuan dan mengalir menuju sumur produksi. Menurut beberapa kalangan, Indonesia mempunyai potensi shale gas sebesar 1.000 – 2.000 tcf (trillion cubic feet). Ini menjadikan Indonesia menjadi negara dengan potensi shale gas terbesar di dunia. Jika kemudian bisa dikelola dengan baik, termasuk jika bisa meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, Indonesia bisa keluar dari krisis energi dan sekaligus mengurangi impor energi (Prima, 2016).
Mengingat potensi yang besar pemanfaatan gas sebagai salah satu sumber energi yang ramah lingkungan, maka melatarbelakangi kami membahas mengenai proses produksi gas alam. Proses produksi gas alam melalui beberapa tahapan hingga pada akhirnya dapat dikonsumsi ataupun dimanfaatkan oleh sebagian besar manusia untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Pembahasan proses produksi gas alam ini diharapkan ke depannya, akan mendorong pengembangan dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan Indonesia dan umat manusia.

1.2                    Rumusan Masalah

1.         Bagaimana proses produksi gas alam dalam industri ?

1.3                    Tujuan

1.         Mengetahui dan memahami proses produksi gas alam dalam industri.

1.4                    Manfaat

1.         Memberikan informasi mengenai proses produksi gas alam dalam industri.



BAB 2.  TINJAUAN PUSTAKA


2.1                    Sejarah Gas Alam dan Potensinya

Gas alam pada awalnya tidak diakui sebagai sumber energi tetapi dianggap sebagai gangguan karena sering ditemukan selama proses menggali sumur untuk air atau air garam di akhir 1800-an. Gas alam kemudian mulai dikenal di benua Amerika diawal abad 20 ketika digunakan sebagai pengganti "coal gas" (gas yang diproduksi dari pemanasan batubara) untuk bahan bakar sistem pemanas ruangan. Penemuan pipa seamless sebagai bahan pipa dan aplikasi metode pengelasan pipa telah mengatasi masalah dalam transportasi gas alam. Kemajuan teknologi untuk eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan gas alam juga telah menjadi pemicu pertumbuhan penggunaan gas alam terutama untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik, industri domestik, transportasi, pupuk, dan sebagainya. Penggunaan gas alam di Indonesia sendiri dimulai tahun 1974 di Cirebon oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai penganti coal gas” untuk sektor rumah tangga, komersial dan industri. Berdasarkan data dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 104 menunjukkan Indonesia memiliki cadangan gas alam mencapai 103,3 triliun ft3 atau setara dengan 2,9 triliun liter bahan bakar minyak (BBM). Data dari BP Statistical Review of World Energy tahun 2015, kapasitas produksi gas alam indonesia pada tahun 2014 adalah 73.4 milyar m3 dengan konsumsi indonesia 38.4 milyar m3 (Permatasari dkk, 2016).
Di Indonesia sudah banyak terdapat jaringan pipa transmisi dan distribusi gas bumi yang dibangun oleh PERTAMINA, KKKS, PGN dan Swasta. Namun pembangunan jaringan pipa gas bumi di Indonesia saat ini bersifat peace meal, artinya jaringan pipa gas bumi akan dibangun setelah ada penemuan cadangan gas bumi baru dan sudah terdapat konsumen gas buminya. Pemerintah telah merencanakan untuk membangun jaringan gas bumi terpadu yang akan menghubungkan multi produsen dengan multi konsumen. Rencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 0255 K/11/MEM/2010, tentang Rencana induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional yang pembangunannya dilaksanakan secara terjadwal. Berikut ini adalah proyek pembangunannya :
1.       Revitalisasi LNG Arun (Pertamina, selesai Q4 2014);
2.       Pipa Arun-Belawan (Pertamina, selesai Q2 2014);
3.       FSRU Lampung (PGN, selesai 2014);
4.       FSRU Jawa Barat (PT. Nusantara Regas, Sudah beroperasi, akan diresmikan RI-1);
5.       Pipa Cirebon-Bekasi (Pertagas, selesai Q4 2014);
6.       Pipa Cirebon-Semarang (PT Rekayasa Industri dengan dukungan Pertamina, selesai Q3 2014);
7.       Pipa Gresik-Semarang (Pertagas, selesai Q3 2014); • FSRU Jawa Tengah (Pertamina, Q4 2014);
8.       Pipa Kepodang-Tambak Lorok (selesai 2014).
Sampai saat ini jaringan transmisi gas bumi yang telah terpasang di Indonesia adalah
3.202 km di Pulau Sumatera, 1.804 km di Pulau Jawa, dan 295 km di Pulau Kalimantan, sedangkan jaringan distribusi gas bumi yang telah terpasang sepanjang 751 km di Pulau Sumatera dan 2.520 km di Pulau Jawa. Selain itu untuk mengurangi ketergantungan dengan Bahan Bakar Minyak, dengan menggunakan APBN telah melaksanakan pembangunan jaringan gas kota untuk rumah tangga di beberapa kota yang dekat dengan sumber gas bumi dan memiliki jaringan transmisi gas bumi (Syukur, 2016).

2.2                    Gas Bumi (Gas Alam)

Gas dapat didefinisikan sebagai fluida, umumnya dengan rapatan dan kekentalan yang rendah, tidak memiliki volume tertentu, melainkan mengisi penuh wadah apa saja, di dalam mana gas tersebut disimpan. Gas bumi adalah gas yang sebagian besar asal usulnya atau sumbernya diperoleh langsung dari perut bumi (dari dalam tanah atau dari sumur minyak dan gas bumi) atau dari alam, dan disebut dengan Natural Gases. Gas bumi yang langsung didapat dari alam ini sering disebut dengan Gas Alam. Apabila gas bumi ini diperolah dari sumur yang hanya menghasilkan gas saja, maka gas ini disebut dengan Non Associated Gas. Non associated Gas ini paling- paling keluar dari sumur gas bersamasama kondensat, yaitu gas fraksi berat (C5+) yang berbentuk cairan. Sedangkan gas bumi yang diperoleh dari sumur minyak, dan keluar bersama-sama minyak mentah sering disebut dengan Associated Gas (gas alam ikutan) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Gas alam yang di dalamnya masih mengandung C3H8 (Propana), C4H10 (Butana) dan C5H12 (Pentana) atau yang lebih berat sering disebut dengan Gas Alam Basah (Wet Natural Gas). Sedangkan gas alam yang sudah dipisahkan dari C3H8 (Propana), C4H10 (Butana), dan C5H12 (Pentana), jadi tinggal CH4 (Metana) dan C2H6 (Etana) saja, disebut dengan Gas Alam Kering (Dry Natural Gas). Pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 dapat dilihat perbedaan antara Associated Gas dan Nonassociated Gas (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015. Produk dari gas alam yang digunakan adalah LPG (Liquid Petroleum Gas), CNG (Compressed Natural Gas) , LNG ( Liquid Natural Gas) dan CBM (Coal Bed Methane) yang merupakan sumber non konvensional yang sedang dikembangkan di Indonesia. Compressed Natural Gas merupakan gas alam yang dikompresi tanpa melalui proses penyulingan dan disimpan dalam tabung logam. CNG relatif lebih murah karena tanpa melalui proses penyulingan dan lebih ramah lingkungan. LPG dan LNG merupakan gas alam hasil penyulingan dan pemisahan dari minyak bumi. Gas butana dan propana akan menjadi LPG dan methana akan menjadi LNG. LPG dikenal sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak (Syukur, 2016).
Liquefied Natural Gas (LNG) adalah gas alam yang dicairkan dengan cara didinginkan pada temperature sekitar -160oC dan pada tekanan atmosfer. Proses tersebut juga untuk menghilangkan ketidakmurnian dan hidrokarbon berat pada gas alam tersebut. Dengan pencairan gas alam tersebut, volume spesifik gas alam dapat mengecil hingga 1/600 kali lipat dibandingkan kondisi awalnya. Gas alam cair tersebut dapat disimpan dalam tangki atmosferik serta mudah diangkut dalam jumlah yang besar menuju tempat yang jauh dengan menggunakan kapal tanker LNG dimana jalur pipa tidak tersedia atau jalur pipa tidak ekonomis. Untuk transportasi gas alam dalam skala kecil dan berjarak dekat dari sumber gas alam seperti halnya untuk pemenuhan kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik maka metode yang lazim digunakan adalah menggunakan tanki bertekanan sekitar 200 bar atau lebih dikenal dengan Compressed Natural Gas (CNG) (Putri dkk, 2013).

2.3                    Komposisi Gas Alam

Komposisi gas alam ditinjau dari senyawa molekul karbon adalah berapa jumlah ikatan-ikatan atom C serta kandungan senyawa lain yang menyertainya. Maka komposisi gas alam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kandungan senyawa molekul karbon dan kandungan senyawa lain. Gas alam terdiri dari gas-gas hidrokarbon seperti metana, etana, propana, butana, dan sejumlah kecil hidrokarbon yang lebih berat. Gas-gas lain seperti karbon dioksida, hidrogen sulfida, nitrogen oksida, merkaptan, uap air dan beberapa jejak senyawa organik dan anorganik juga hadir dalam gas alam (Permatasari dkk, 2016).

2.3.1              Kandungan Senyawa Molekul Karbon

Gas bumi atau gas alam komposisi kimianya juga seperti minyak mentah (Crude oil), hanya lebih sederhana, terdiri atas campuran persenyawaan yang unsur utamanya terdiri atas atom-atom hidrogen (H) dan atom karbon (C) atau sering disebut dengan persenyawaan hidrokarbon, mulai dari C1 (metana) sampai C4 (Butana) kadang ada juga C5+ (pentana serta yang lebih berat) yang sudah ada dalam bentuk cair sebagai kondensat. Dari sini dapat disimpulkan, bahan komposisi gas alam ditinjau dari senyawa molekul karbonnya hanya terdiri dari C1 sampai C4. Jadi penyusun gas alam hanya terdiri dari CH4 (metana), C2H6 (etana), C3H8 (propana), serta C4H10 (Butana). Maka dibanding dengan minyak bumi, pada gas alam jumlah rantai atom karbonnya lebih pendek (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

2.2.1            Kandungan Senyawa Lain

Gas bumi atau gas alam dapat terjadi dalam keadaan sendiri atau terdapat bersama-sama dengan minyak mentah. Selain itu senyawa lain yang sering terdapat bersamanya adalah gas asam arang (karbon dioksida atau CO2), gas helium (He), mercaphthan (RSH) dan uap air (H2O) serta logam-logam/metal. Logam berat yang terdapat adalah vanadium (V) dan mercuri atau air raksa (Hg) Kandungan senyawa lain yang terdapat di dalam gas alam tersebut tidak dikehendaki keberadaannya, karena senyawa-senyawa tersebut merupakan zat-zat pengotor atau sering disebut dengan impurities, yang dapat mengganggu proses gas selanjutnya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

2.4               Pengarus Zat Pengotor di dalam Gas Alam

Zat-zat pengotor (impurities) yang terkandung di dalam gas alam harus dikurangi hingga kandungan impuritiesnya sekecil mungkin yaitu masih pada batas- batas yang diijinkan. Adapun dampak negatif dari zat-zat impurities tersebut adalah :
1.       Asam Sulfida (H2S)
Senyawa belerang sebagai gas H2S dapat menyebabkan :
a)       Pencemaran karena berbau tidak enak.
b)       Korosif pada peralatan-peralatan proses.
2.       Karbon Dioksida (CO2)
Kandungan CO2 di dalam gas alam dapat menyebabkan kebuntuan pada sistem perpipaan, karena bersama H2S, CO2 dapat mendorong pembentukan hidrat apabila gas alam tersebut mengalami pendinginan.
3.       Uap Air (H2O)
Sama seperti CO2, uap air ini akan mengembun di dalam perpipaan dimana gas dialirkan, apabila gas alam tersebut mengalami pendinginan. Dengan adanya air bebas di dalam aliran gas tersebut juga berpotensi terbentuknya hidrat.Pada kondisi ekstrim, hidrat ini akan membuat buntu sistem perpipaan.
4.       Mercury (Hg)
    Mercury atau air raksa (Hg) harus dibuang karena bahan ini dapat merusak peralatan-peralatan yang terbuat dari aluminium khususnya alat pendingin utama pada unit pencairan gas alam.
Hidrat adalah suatu kristal yang terbentuk antara molekul-molekul air dengan molekul-molekul hidrokarbon ringan (metana, etana, dan propana) di dalam gas bumi/alam. Disamping itu adanya molekul-molekul hydrogen sulfide (H2S) dan karbon dioksida (CO2) di dalam gas bumi/alam juga dapat membentuk hidrat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

2.5                    Floating Storage Regasification Unit (FSRU)

FSRU adalah floating unit untuk LNG yang digunakan tidak hanya sebagai alternative teknis dari LNG terminal yang telah ada selama ini, tetapi dari sudut pandang lain, unit ini dapat memberikan alternative solusi lain dalam hal keekonomian. Dengan telah terbuktinya keandalan dari onshore LNG Terminal dalam beberapa dasawarsa terakhir dan semakin majunya perkembangan teknologi terapung seperti FPSO, ditambah dengan telah terbuktinya keandalan teknologi penyimpanan LNG dalam Lambung kapal LNG Carrier, maka dikembangkanlah teknologi dan konsep design untuk membuat floating Terminal LNG yang andal, aman dan ekonomis. FSRU pada dasarnya dirancang sebagai fasilitas apung dan desain prosedurnya tidak jauh berbeda dengan onshore terminal, sehingga dari konsep desain FPSO banyak yang dapat diadopsi untuk hal ini, tetapi ada beberapa kasus peralatan yang ada di LNG terminal onshore tidak bisa diaplikasikan pada FSRU, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan (Syukur, 2016).
Selama ini di Indonesia belum pernah dibangun LNG terminal yang dapat digunakan sebagai untuk regasifikasi LNG, sehingga hasil – hasil dari kilang LNG yang telah dibangun dari tahun 1970 an seluruhnya diekspor ke Jepang, Taiwan, China, USA. Namun dengan semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik, maka ssat ini dipandang perlu dibangun terminal LNG di Indonesia. Dengan adanya LNG terminal, maka pasokan LNG yang diperlukan dapat diperoleh dengan dari berbagai sumber baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia sebagai Negara kepulauan telah merancang untuk mengembangkan Floating Storage Regasification Unit untuk mengatasi kelangkaan gas di beberapa wilayah di Indonesia (Syukur, 2016).
Salah satu FSRU yang telah beroperasi adalah FSRU milik PT. Nusantara Regasification, FSRU ini memilii kapasitas sebesar 3 juta ton per tahun dan telah memperoleh pasokan LNG dari Kilang Bontang sebesar 1,5 juta ton per tahun mulai tahun 2012, untuk jangka waktu 10 tahun. Selain itu ada juga FSRU dengan kapasitas dengan kapasitas masing – masing 3 juta ton per tahun di lepas pantai Lampung, lepas pantai Jawa Tengah dan lepas pantai Jawa Timur Contoh FSRU milik PGN di Selat Sunda Lampung Proyek LNG FSRU lampung saat ini sedang dibangun di Korea Selatan direncanakan untuk beroperasi pada pertengahan 2014 (Syukur, 2016).

2.6                    Pengangkutan Gas Alam dalam Bentuk Compressed Natural Gas (CNG)

Gas Alam yang terkompresi (Compressed Natural Gas, disingkat CNG) adalah alternatif bahan bakar selain bensin dan solar, CNG dibuat dengan kompresi gas metana (CH4) yang ditekan sampai dengan tekanan 250 bar, kemudian disimpan dan didistribusikan dengan truk tangki jenis skid tube. Indonesia mengenal CNG sebagai dengan BBG, bahan bakar ini dianggap lebih bersih emisinya dibandingkan dengan bahan bakar minyak. CNG sekarang menjadi primadona dengan penggunaannya sebagai bahan bakar pada bis, truk bahkan bahan bakar untuk power plant (pembangkit listrik) (Syukur, 2016).

2.7                    Cluster LNG Storage Tank

Cluster LNG Storage Tank merupakan suatu metode terbaru yang diusung dan dipatenkan oleh DSME sebagai suatu sarana berupa media penyimpanan LNG. Cluster LNG Storage Tank adalah sebuah tangki penyimpanan LNG dimana biasanya kondisi tekanan operasinya adalah sekitar 20 bar. Secara fisik cluster LNG ini memiliki tinggi dan diameter berurutan yaitu 20 meter dan 4 meter. Volume gas alam dapat dikecilkan hingga 600 kali dengan cara merubah fasa gas alam menjadi cair. Hal ini dapat dicapai dengan mendinginkan hingga temperatur cryogenic (temperatur dibawah -150oC) menjadi LNG (Liquified Natural Gas) ataupun meningkatkan tekanan menjadi LPG (Liquified Petroleum Gas) (Putri dkk, 2013).
Pabrik ini berlokasi di Gresik dengan bahan baku yang diperoleh dari sumur Bukit Tua, Gresik, Jawa Timur dengan cadangan gas alam sebesar 52359,62 MMSCFD. Kapasitas pabrik ini adalah 20 MMSCFD dimana kandungan utamanya adalah methane 74,83% mol dan ethane sebesar 6,81% mol. Impuritiesnya adalah CO2 sebesar 0.86% mol, H2S sebesar 7,41% mol, dan H2O sebesar 0,01% mol. Suhu feed dari pabrik ini sebesar 28oC dan tekanannya 25 bar. Pabrik Cluster LNG ini memenuhi kebutuhan LNG untuk PLN wilayah Jawa Timur, Bali dan Lombok sebesar 6,79 MTPA dimana produksi LNG pabrik ini sebesar 0,13 MTPA sehingga dapat disimpulkan bahwa pabrik ini memenuhi 1,14% kebutuhan LNG PLN untuk Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Berikut ini adalah Tabel 2.1 spesifikasi produk dari pabrik Cluster LNG ini (Putri dkk, 2013).
Tabel 2.1 Spesifikasi Produk


Specifications



LNG
Target HHV
1087 btu/scf
CO2 content
Less than 50 ppmv
H2S content
Less than 4 ppmv
Total Sulfur
Less than 35 mg/Nm3
Nitrogen
Less than 1.0 mol %
C4+ content
Less than 2.0 mol %
C5+ content
Less than 0.1 mol %
LPG
Vapor Pressure
Under 1430 kPa (at 37.8oC)
C5+ content
Less than 2 vol %
Condensate
Reid Vapor Pressure
Under 10 psia




BAB 3. METODOLOGI


Pengolahan gas alam diperlukan untuk mendapatkan spesifikasi gas alam sesuai dengan persyaratan produk yang baku, melindungi peralatan pengolahan gas alam serta memastikan gas buang dari pengolahan gas alam tidak merusak lingkungan.
Proses pemisahan dari gas pengotor atau purifikasi antara lain meliputi :
1.         Pemisahan fasa cair dari gas umpan
Pemisahan fasa cair dari gas alam dilakukan untuk menghindari cairan pengotor dan atau condensate masuk dalam unit pemisahan gas asam karena akan mengakibatkan foaming. Pemisahan pada umumnya dilakukan dengan menggunakan 2 phase vessel separator, cooler, scubber, dan atau filter.
Fasa cair hasil dari pemisahan selanjutnya dipisahkan antara fasa air dan fasa minyak, dimana masing-masing selanjutnya diolah dalam unit pengolahan air terproduksi (produced water treatment) dan pengolahan kondensat (condensate treatment) untuk mencapai spesifikasi yang disyaratkan oleh lingkungan maupun pemilik proyek.
2.       Pemisahan gas asam/acid gas (pada umumnya meliputi CO2 serta sulfur komponen meliputi antara lain H2S dan mercaptan) dari gas alam.
3.         Pemisahan air dari gas alam
4.         Pemisahan pengotor lainnya apabila ada (mercury, RSH, COS, CS2).
5.         Sulfur recovery . Acid gas (CO2 dan H2S) dari hasil pemisahan gas pengotor dari gas alam selanjutnya diolah dalam sulfur recovery unit untuk memisahkan H2S dari acid gas dan mengolahnya menjadi sulfur element baik dalam bentuk cake maupun pellet. Selanjutnya gas CO2 yang masih mengandung sebagian H2S dibakar dalam thermal oxidizer unit untuk meyakinkan bahwa kandungan H2S sudah cukup aman bagi lingkungan (Permatasari dkk, 2016).
Penentuan teknologi pengolahan yang akan diaplikasikan dalam suatu pabrik pengolahan gas dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
1.         Komposisi gas pengotor
Komposisi gas pengotor gas di Indonesia sangat bervariasi tergantung pada reservoirnya. Sebagai contoh kadar CO2 di Indonesia bisa bervariasi dari sekitar 5
% -vol sampai lebih dari 30 % -vol.
2.         Produk yang diinginkan Produk akhir dari pengolahan gas alam tergantung pada lokasi pengguna dan jenis penggunaanya sehingga metoda transportasi menjadi hal yang penting. Metoda transportasi yang umum adalah peyaluran melalui jalur perpipaan (pipeline), transportasi dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) dengan kapal tanker LNG untuk pengangkutan jarak jauh dan transportasi dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG) dengan road tanker atau kapal tanker CNG, untuk jarak dekat dan menengah (antar pulau).
3.         Skema proses
Berbagai teknologi tersedia untuk pengolahan gas alam mulai dari teknologi yang sudah umum dan proven sampai yang baru dan berlisensi. Teknologi yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi umpan dan juga produk serta limbah yang dihasilkan.
4.         Utilitas
Sistem pengolahan gas memerlukan sistem utilitas sebagai pendukung nya. Jenis utilitas yang digunakan sangat bergantung pada skema proses yang digunakan, ketersediaan bahan baku utilitas, dan nilai ekonomis.
5.         Keekonomisan Nilai ekonomi suatu pengolahan gas alam merupakan gabungan dari CAPEX (Capital Expenditure) dan OPEX (Operating Expenditure) fasilitas tersebut (Permatasari dkk, 2016).




BAB 4. PEMBAHASAN


Gas bumi ini sebelum digunakan untuk berbagai keperluan perlu dimurnikan (distreatment) lebih dulu untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang terkandung di dalamnya. Jenis-jenis pemrosesan gas bumi yaitu :

4.1                    Amine Gas Treating

Proses Amine Gas Treating merupakan proses pemurnian terhadap gas bumi/gas alam, dengan menggunakan metode proses, yaitu proses absorbsi. Proses absorbsi adalah proses pemisahan sebagian dari komponen-komponen di dalam campuran gas dengan menggunakan zat cair sebagai penyerap (absorbent) yang selektif. Pemisahan ini berdasarkan perbedaan daya larut komponen-komponen gas di dalam cairan penyerap (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.1.1              Penggolongan Cairan Penyerap

Cairan penyerap ada dua golongan, yaitu :
1.            Non Regenerative Absorbent
Adalah absorbent yang tidak dapat diregenerasi, sehingga hanya dapat dipergunakan sekali pakai saja.
Contoh: Larutan NaOH untuk menyerap gas H2S.
2.            Regenerative Absorbent
Adalah absorbent yang dapat diregenerasi, sehingga dapat dipergunakan lagi sebagai penyerap (absorbent).
Contoh: Larutan Alkanol Amine (Mono Ethanol Amine, Diethanol Amine, dan Triethanol Amine) untuk menterap impurities CO2 dan H2S di dalam gas bumi/gas alam (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.1.2              Peralatan yang Dipergunakan untuk Proses Absorbsi

Peralatan yang dipergunakan untuk proses absorbi ini antara lain :
1.              Kolom Absorber
Kolom Absorber ini disebut juga kolom kontaktor, yaitu tempat terjadinya penyerapan kandungan impurities di dalam gas alam oleh cairan penyerap. Di dalam kolom kontaktor ini gas umpan masuk dari bagian bawah kolom, lalu gas umpan tersebut menuju keatas (yaitu sesuai dari sifat gas) dan terjadi kontak dengan bahan penyerap berupa cairan yang dimasukkan dari bagian atas kolom kontaktor.
2.              Kolom Regenerator atau Aktivator
Kolom Regenerator atau kolom aktivator dipergunakan untuk mengaktifkan kembali zat penyerap yang sudah jenuh dengan impurities berupa CO2 dan H2S di dalam kolom absorber (Kontaktor). Zat penyerap berupa larutan alkohol amine ini dialirkan masuk melalui bagian atas kolom regenerator untuk dipisahkan dari senyawa belerang dan karbon dioksida yang telah terserap di dalam larutan alkanol amine dengan cara pemanasan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.1.3              Uraian Proses

Umpan berupa gas alam yang mengandung senyawa H2S dan CO2 dialirkan masuk melalui bagian bawah kolom absorber, sedang larutan alkanol amine yang masih segar (lean amine solution) dialirkan masuk melalui bagian atas kolom absorber, dan bertemu dengan aliran gas yang naik ke atas sehingga terjadi kontak sekaligus penyerapan. Gas alam yang telah bebas dari CO2 dan H2S keluar dari puncak kolom absorber sebagai “Purified gas”. Larutan alkanol amine yang telah menyerap CO2 dan H2S disebut Rich Amine Solution keluar dari dasar kolom absorber. Larutan Alkanol Amine ini setelah lebih dulu dipanaskan di dalam HE (Heat Exchanger), kemudian dialirkan masuk melalui bagian atas dari kolom regenerator untuk dipisahkan dari impurities (CO2 dan H2S) yang telah terserap di dalamnya dengan cara pemanasan. Pemanasan dilakukan dengan sistem reboiler yang menggunakan steam (uap air) sebagai pemanas. Senyawa belerang sebagai H2S dan karbon dioksida CO2 dalam bentuk gas keluar dari puncak kolom regenerator sebagai Acid gas dan dialirkan ke Flare untuk dibakar. Larutan Alkanol Amine yang telah bebas dari impurities CO2 dan H2S disebut Lean Amine Solution keluar dari bagian bawah kolom regenerator. Larutan ini setelah didinginkan di dalam HE dan Cooler, kemudian dikembalikan ke dalam kolom absorber untuk digunakan lagi sebagai penyerap (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.1.4              Kondisi Operasi pada Kolom


1.              Pada Kolom Absorber
a)       Type : Bubble Cap Try Coloum
b)       Kondisi Operasi : Suhu absorbsi maksimum 100oF, minimum = 50oF. Bila diatas maksimum, maka kehilangan karena penguapan (Vapor loss) larutan Alkanol Amin terlalu besar. Bila dibawah minimum, maka viskositas kekentalan absorbent akan naik sehingga efisiensi kontak akan turun.
2.           Pada Kolom Regenerator
a)       Type : Bubble Cap Try Coloum

b)       Kondisi Operasi : Suhu steam pemanas maksimum 180oC. Bila diatas maksimum, larutan Alkohol Amine akan terurai. Suhu regenerasi = 90- 95oC (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.1.5              Variabel Operasi pada Proses Pemisahan CO2 dan H2S dengan Larutan Alkanol Amine

Pada unit pemisahan CO2 dan H2S dengan larutan Alkanol Amine, variabel operasi yang terjadi adalah :
1.         Suhu larutan alkanol amine yang masuk ke kolom absorber
Karena proses penyerapan CO2 dan H2S dengan larutan alkanol amine bersifat eksotermis, maka makin rendah suhu larutan alkanol amine, penyerapan terhadap CO2 dan H2S semakin baik, namun ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu :
a)                Suhu larutan alkanol amine yang terlalu rendah dapat menyebabkan kondensasi hidrokarbon berat dari gas umpan, dan akan menimbulkan peristiwa foaming (Pembentukan Busa). Untuk mencegah terjadinya foaming, suhu larutan alkanol amine dijaga 8-10oC diatas suhu gas umpan yang masuk ke absorber.
b)               Suhu larutan alkanol amine yang terlalu tinggi akan mengurangi kemampuan penyerapan terhadap CO2 dan H2S, dan meningkatkan kehilangan alkanol amine karena menguap (amine losses).
2.         Konsentrasi Larutan Alkanol Amine
a)                Konsentrasi larutan Alkanol Amine yang rendah menyebabkan kemampuan penyerapan CO2 dan H2S berkurang sehingga diperlukan penambahan jumlah larutan Alkanol Amine yang disirkulasikan.
b)               Konsentrasi larutan Alkanol Amine yang tinggi menyebabkan kemampuan penyerapan CO2 dan H2S semakin baik, tetapi biaya operasinya naik.
3.       Jumlah (banyaknya) larutan Alkanol Amine yang disirkulasikan
Pada dasarnya, dengan menaikkan jumlah larutan Alkanol Amine yang disirkulasikan, makin banyak CO2 dan H2S yang diserap dari gas umpan. Dengan pertimbangan biaya operasi, maka jumlah larutan Alkanol Amine yang digunakan perlu disesuaikan dengan jumlah gas umpan yang diproses serta kandungan CO2 dan H2S di dalam gas umpan.
4.       Keberhasilan Regenerasi larutan Alkanol Amine
Keberhasilan di dalam regenerasi ditunjukkan oleh kandungan CO2 dan H2S di dalam larutan Alkanol Amine yang telah diregenerasi (Lean Amine) :
a)                Makin rendah kandungan CO2 dan H2S di dalam Lean Amine, kemampuan penyerapan terhadap CO2 dan H2S semakin baik.
b)               Makin tinggi kandungan CO2 dan H2S di dalam Lean Amine, kemampuan penyerapan terhadap CO2 dan H2S semakin berkurang (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2                    Proses Pengeringan Gas

Gas bumi yang baru keluar dari sumur, baik yang keluar dari sumur gas atau yang keluar bersama-sama minyak mentah, mengandung uap air cukup tinggi (jenuh). Bila gas tersebut mengalami pendinginan, maka akan terjadi kondensasi dari uap air membentuk air bebas. Adanya air bebas ini dapat berakibat :
1.                                      Berpotensi terbentuk hidrat di sistem perpipaan dimana gas bumi dialirkan.
2.                                      Bila suhunya minus, maka akan terbentuk kristal es.
Apabila hidrat tersebut berada dalam sistem perpiaan, maka laju alir dari gas akan menurun dan dalam kondisi yang ekstrim hidrat tersebut akan membuntui aliran gas dalam perpipaan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2.1              Pengeringan Hidrat


Hidrat adalah suatu kristal yang terbentuk antara molekul-molekul air dengan molekul-molekul gas hidrokarbon ringan (Metana, Etana, Propana, dan Butana) di dalam gas bumi (Gas Alam). Disamping itu adanya molekul-molekul hidrogen sulfida (H2S) dan karbon dioksida (CO2) di dalam gas bumi juga dapat membentuk hidrat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2.2              Mekanisme Pembentukan Hidrat


Berikut ini akan dijelaskan bagaimana hidrat dapat terbentuk di dalam sistem perpipaan dimana gas bumi dialirkan. Urutannya adalah sebagai berikut :






Gambar 4.2 Mekanisme Pembentukan Hidrat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2.3              Faktor-Faktor Utama Pembentukan Hidrat

Ada beberapa faktor yang dapat mendorong/memicu terbentuknya hidrat,
yakni :

1.         Terbentuknya air bebas di dalam sistem perpipaan. Kapan akan terjadi air bebas dalam perpipaan ?
Bila gas bumi mengandung uap air cukup tinggi (jenuh) dan mengalami pendinginan, maka akan terjadi air bebas (Free Water)
Atau :
Suhu lingkungan dimana pipa gas lewat lebih rendah dari suhu pengembunan air (water dew point). Pada umumnya gas bumi yang baru keluar dari perut bumi kandungan uap airnya tinggi atau dalam kondisi jenuh. Banyaknya kandungan uap air di dalam gas bumi dipengaruhi oleh suhu pengembunan air (water dew point) dan tekanan gas. Suhu pengembunan air (water dew point) adalah suhu gas dimana pertama kali terjadi pengembunan uap air. Pada saat itu kandungan uap air di dalam gas bumi maksimum.
Contoh kondisi gas bumi yang jenuh dengan uap air :
a)                Gas bumi yang baru keluar dari sumur.
b)               Gas bumi yang keluar dari separator, dimana dari separator tersebut keluar air akibat kondensasi dari gas bumi.
c)                Gas bumi yang keluar dari chiller (Pendingin /Evaporator).

2.         Suhu operasi gas dalam pipa dimana gas dialirkan berada pada suhu pembentukan hidrat atau lebih rendah. Air bebas akan terjadi apabila gas mengandung uap air maksimum (jenuh) dan mengalami pendinginan. Sebaliknya apabila suhu lingkungan dimana pipa gas mengalir lebih tinggi dari suhu pembentukan hidrat, maka di dalam pipa tidak akan terbentuk hidrat meskipun pada saat itu ada air bebas di dalam pipa (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2.4              Pencegahan Pembentukan Hidrat

Pada pelajaran sebelumnya sudah dijelaskan faktor utama pembentukan hidrat, yakni :
1.         Ada air bebas (free water) di sistem perpipaan.
2.         Suhu operasi gas berada pada suhu pembentukan hidrat atau lebih rendah. Bagaimana cara mencegah terbentuknya hidrat ?
1.       Dengan menginjeksikan bahan kimia yakni methanol atau glycol.
Banyaknya methanol atau glycol yang diinjeksikan kedalam pipa gas tergantung dari banyaknya air bebas yang akan tebentuk di dalam sistem perpipaan.
2.       Dengan menggunakan Proses Gas Dehidrasi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.2.5              Proses Gas Dehidrasi


1.         Tujuan Proses
Proses dehidrasi terhadap gas bumi bertujuan memisahkan uap air yang terkandung di dalam gas bumi/gas alam. Pemisahan uap air dari gas bumi mempunyai beberapa alasan, yaitu :
a)                Mencegah terjadinya hidrat di dalam sistem perpipaan.
b)               Mencegah korosi apabila ada aliran acid gas, misalnya gas belerang (H2S)
2.         Jenis-Jenis Proses Gas Dehidrasi
Ada 3 jenis proses gas dehidrasi yang sering digunakan, yakni :
a)                               Proses absorsi dengan zat cair (glycol gas dehydration)
b)                              Proses absorbsi dengan zat padat
c)                               Proses pendinginan (Refrigerasi)
1)         Gycol Gas Dehydration
Glycol merupakan zat cair yang mempunyai daya serap yang tinggi terhadap air.
a)         Ada tiga macam Glycol yakni :
1.         Ethylene Glycol
2.         Diethylene Glycol
3.         Triethylene Glycol



b)         Ketiga macam Glycol diatas mempunyai sifat-sifat yakni :
1.         Efisiensi absorbsi tinggi
2.         Lebih ekonomis karena dapat diregenerasi
3.         Tidak korosif dan tidak beracun
4.         Tidak menimbulkan problem operasional apabila digunakan dalam konsentrasi yang tinggi
5.         Tidak berinteraksi dengan hidrokarbon dan acid gas
Dari ketiga macam glycol tersebut, yang paling umum digunakan adalah
Triethylene Glycol (TEG) karena kehilangan penguapan lebih kecil.
c)         Peralatan yang digunakan :
Pada proses Glycol Gas Dehidration, peralatan yang digunakan antara lain :
1.  Kolom Kontaktor adalah tempat terjadinya penyerapan uap air oleh Glycol. Di dalam kolom kontaktor dipasang beberapa tray sebagai alat kontak antara gas dan cairan Glycol.
2.  Kolom Regenerator adalah kolom yang digunakan untuk mengaktifkan cairan Glycol yang banyak mengandung uap air, dengan cara dipanaskan sehingga uap air akan terpisah dengan cairan Glycol (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
2)         Garis Besar Proses
Tempat terjadinya penyerapan uap air oleh Glycol ini disebut kontaktor atau kolom absorber, yang di dalamnya berisi beberapa susunan tray Glycol yang mengandung sedikit uap air (lean Glycol) masuk kontaktor dari bagian atas kolom, dan gas umpan (wet gas) masuk kontaktor dari bagian bawah kolom. Di dalam tray inilah terjadi kontak antara gas yang menuju keatas dan cairan Glycol yang mengalir kebawah. Glycol yang keluar dari bagian bawah kolom kontaktor ini relatif banyak mengandung uap air, yang disebut wet glycol (Rich Glycol) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Wet glycol ini agar dapat dipakai lagi sebagai penyerap harus dipisahkan airnya dengan jalan dipanaskan agar air dapat menguap sehingga diperoleh dry glycol (lean glycol). Alat untuk memanaskan rich glycol ini disebut reboiler. Proses absorbsi di kolom kontaktor akan berjalan secara efektif apabila suhu glycol yang masuk kontaktor relatif rendah. Oleh sebab itu lean glycol yang keluar dari reboiler harus di dinginkan dulu dengan menggunakan beberapa HE (Heat Exchanger) sebelum masuk kontaktor (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).



a)         Variabel operasi pada unit proses Glycol Gas Dehydration
Variabel-variabel operasi yang terjadi antara lain :
1.           Temperatur Suhu
Suhu operasi dari kontaktor ditentukan oleh suhu gas umpan atau suhu lean glycol masuk kontaktor. Makin rendah suhu glycol, makin tinggi daya serapnya terhadap uap air. Akan tetapi dibatasi minimum 70oF.
2.            Konsentrasi dari Lean Glycol
Konsentrsi lean glycol yang digunakan tergantung dari suhu gas umpan (Wet Gas) masuk kontaktor (Suhu operasi kontaktor). Makin rendah suhu gas umpan yang masuk kontaktor, konsentrasi lean glysol semakin rendah, dan sebaliknya.
3.           Jumlah (Banyaknya) Glycol yang Disirkulasikan
Pada dasarnya, dengan menambah jumlah glycol yang disirkulasikan, maka banyak kandungan uap air yang dapat diserap dari gas umpan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).


3)         Proses Penyerapan dengan Menggunakan Zat Padat (Solid Desiccant)
Adalah proses penyerapan uap air di dalam gas alam dengan menggunakan zat padat berupa buturan-butiran yang disebut solid desiccant. Proses dehidrasi dengan menggunakan solid dessiccant, prosesnya dinamakan proses adsorbsi, dan zat penyerapnya disebut adsorbent. Gas umpan yang mengandung uap air dilewatkan di dalam suatu kolom adsorber yang mempunyai kemampuan penyerapan tertentu. Pada suatu periode tertentu, desiccant akan jenuh dan perlu diregenerasi. Tingkat penyerapan tergantung pada jenis desiccant dan waktu kontak yang digunakan. Pada materi berikutnya akan dibahas proses dehidrasi terhadap gas alam dengan menggunakan solid desiccant (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
a)          Mekanisme Adsorbsi
Keadaan solid desiccant di dalam kolom adsorber ketika menyerap air dapat digambarkan seperti pada gambar. Di dalam kolom adsorber, adsorbent yang berupa butiran-butiran dengan ukuran 30 - 60 mesh (pada luasan 1 cm2 berisi butiran antara 30 - 60 biji) ditempatkan dalam suatu lapisan yang tidak bergerak (Fixed Bed) di dalam sebuah kolom yang disebut kolom adsorber. Umpan berupa gas alam yang mengandung uap air dimasukkan dari atas kolom dan menembus lapisan solid desiccant (adsorbent), sehingga uap air yang terkandung di dalam gas umpan akan terserap. Di dalam kolom adsorber, solid desiccant terbagi menjadi 3 (tiga) daerah (Zone). Ketiga daerah tersebut bertutut-turut adalah :
1.          Saturation Zone
Adalah daerah dimana solid desiccant pada daerah ini telah jenuh dengan air, sehingga tidak mampu lagi untuk menyerap uap air.
2.          Mass Transfer Zone
Adalah daerah dimana solid desiccant belum jenuh dengan air. Pada bagian yang paling atas, keadaan solid desiccant hampir mencapai jenuh, sedangkan makin kebawah tingkat kejenuhan dari solid desiccant belum begitu tinggi (masih rendah).
3.          Aktive Zone
Adalah daerah dimana pori-pori pada solid desiccant belum terisi air. Pada daerah ini desiccant belum berfungsi menyerap uap air (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

b)         Regenerasi Adsorbent
Apabila lapisan adsorbent di dalam kolom adsorber sudah mencapai titik jenuh (saturated) dan operasi tetap dijalankan, maka kandungan uap air di dalam gas outlet (gas yang keluar dari kolom) akan berangsur naik. Keadaan ini tidak diinginkan sehingga adsorbent harus diregenerasi. Untuk regenerasi adsorbent yang sering digunakan adalah dengan cara pemanasan. Cara pemanasan langsung dikontakkan ke susunan solid dessicant (timbunan adsorbent di dalam kolom) dengan menggunakan fluida panas yang suhunya 200-300oC. Pada suhu tersebut, kandungan air di dalam solid dessicant akan terlepas dan menguap ikut bersama fluida panas tersebut. Pada saat proses regenerasi, kolom adsorber dalam keadaan berhenti (tidak dioperasikan untuk proses dehidrasi) dan dialihkan ke kolom adsorber lain yang sudah siap dioperasikan, sehingga proses dehidrasi dapat berjalan secara kontinyu (terus menerus) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

c)          Proses dan Regenerasi
Pada proses dehidrasi, gas umpan masuk melalui valve no 1 (valve no 2 ditutup) dan masuk kedalam kolom kontaktor menembus lapisan solid dessicant sehingga kandungan uap air dalam gas akan terserap. Kemudian setelah melewati lapisan solid dessicant, gas tersebut keluar melewati valve no 3 (valve no 4 ditutup). Begitu seterusnya, sampai pada suatu saat kondisi solid dessicant sudah jenuh dengan air, sehingga harus diregenerasi. Pada saat regenerasi adsorbent, aliran gas umpan ditutup dengan menutup valve no1 dan value no 3, sehingga proses dehidrasi pada kolom ini berhenti (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Agar proses dehidrasi dapat berlanjut, maka aliran gas umpan dialihkan kekolom adsorber yang lain dimana kolom tersebut sudah siap dioperasikan. Perlu diketahui bahwa proses dehidrasi dengan menggunakan solid dessicant (adsorbent), kolom adsorber yang dipergunakan lebih dari satu, yakni apabila kolom yang satu diregenerasi, kolom satunya dapat dioperasikan untuk proses dehidrasi sehingga proses dehidrasi dapat berjalan secara terus menerus (Kontinyu). Proses regenerasi solid desiccant ini dilakukan secara periodik, yakni pada saat solid desiccant sudah jenuh dengan air sehingga tidak mampu lagi menyerap kandungn uap air di dalam gas umpan. Waktu untuk regenerasi terhadap solid desiccant tergantung dari tingkat kejenuhan solid desiccant dan jumlah (volume) solid desiccant di dalam kolom. Secara umum regenerasi ini dilakukan selama 24 jam. Setelah solid desiccant selesai diregenerasi, sambil menunggu solid desiccant pada kolom yang dioperasikan mencapai titik jenuh, maka solid desiccant yang selesai diregenerasi sementara diistirahatkan (standby) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).




4.3                    Proses Pemisahan (Penghilangan) Kandungan Mercury (Air Raksa) di dalam Gas Alam

Pada proses pemisahan kandungan mercury (Hg) dari dalam gas alam, prosesnya disebut Mercury Removal Process (Hg Removal). Peralatan yang dipergunakan berupa vessel yang di dalamnya diisi dengan karbon aktif yang mengandung sulfur (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.3.1              Uraian Proses

Gas umpan yang yang telah bersih dari uap air ini kemudian dialirkan masuk kedalam alat penyerap mercury (Mercury Removal Vessel). Disini kandungan mercury yang terkandung di dalam gas umpan akan diserap oleh karbon aktif yang mengandung sulfur tersebut, walaupun pada kenyataannya jumlah mercury yang terkandung di dalam gas umpan sangat kecil sekali. Setelah gas umpan melewati proses mercury removal, gas alam kemudian masuk ke tahap proses selanjutnya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.3.2              Tujuan Penghilangan Kandungan Mercury di dalam Gas

Tujuan penghilangan mercury adalah untuk mencegah kerusakan peralatan- peralatan yang terbuat dari bahan aluminium, khususnya alat pendingin utama (Main Heat Exchanger) pada proses pencairan gas alam (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.4                    Proses Pembuatan Gas Alam Cair

Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari banyak sedikitnya energi yang dikonsumsi oleh bangsa tersebut. Makin banyak energi yang dikonsumsi, makin maju bangsa tersebut. Penggunaan energi dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun ada pula dampak negatif yang berupa pencemaran lingkungan. Dengan semakin ketatnya peraturan dan perundang-undangan mengenai perlindungan lingkungan, semakin dicari jenis bahan bakar atau energi yang tidak banyak menimbulkan pencemaran lingkungan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Bila dibandingkan dengan batubara dan minyak bumi/ BBM, maka bahan bakar gas (dalam hal ini adalah gas alam) paling sedikit dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga negara-negara maju cenderung untuk menggunakan bahan bakar gas sebagai pengganti bahan bakar minyak. Karena berat jenisnya yang sangat rendah, maka gas alam memerlukan sarana penimbunan dan pengangkutan yang sangat besar untuk keperluan export. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki cadangan gas alam dalam jumlah besar (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Untuk mengatasi masalah tersebut, gas alam perlu dicairkan agar dapat menggunakan tangki timbul dan kapal tangker yang tidak terlalu besar. Untuk mencairkan gas alam menjadi LNG (Liquified Natural Gasses), gas alam yang telah dibebaskan dari kandungan impurities-nya harus mengalami proses pendinginan lanjut (Refrigeration) hingga suhu yang sangat rendah. Proses refrigerasi dengan media pendingin Propan dan Multi Component Refrigerant (MCR) inilah yang dipakai untuk mencairkan gas alam menjadi LNG (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.4.1              Tujuan Pencairan Gas Alam

1.         Di Gas Plant
Gas alam dicairkan agar dapat dipisahkan dari komponen komponennya dengan proses distilasi (fraksinasi) sehingga diperoleh produk yang diinginkan.
2.         Untuk Memudahkan dalam Handling
Apabila jarak antara produsen gas dengan pembeli relatif dekat, maka gas dapat disalurkan dengan pipa, tetapi bila jarak tersebut cukup jauh, maka penyalurannya dalam bentuk cair. Dalam hal ini, LNG (Liquified Natural Gasses) dan LPG (Liquified Petroleum Gasses) dicairkan dengan cara didinginkan pada tekanan atmosfer. Gas Metan bila dicairkan, volumenya akan menyusut sekitar 1/600 kali, sedangkan gas propan akan menyusut sekitar 1/300 kali.
3.         Sifat-Sifat Hidrokarbon Ringan yang Terkait dengan Proses Pencairan
a)                    Hidrokarbon Atom C3 (Propana) dan C4 (Butana) dapat dicairkan dengan cara ditekan pada suhu atmosferis.
b)                   Semua Hidrokarbon gas dapat dicairkan dengan cara didinginkan pada tekanan atmosferis.
c)                    Jumlah atom karbon makin besar, maka gas hidrokarbon makin mudah dicairkan (C3 lebih mudah dicairkan daripada C2 dan C1).
d)                  Semua gas dapat dicairkan dengan cara ditekan pada suhu atmosferis asalkan tidak di atas “Titik Kritis” dari gas tersebut. Titik Kritis adalah suhu maksimum dimana gas masih dapat dicairkan dengan cara ditekan. Apabila suhu penekanan di atas suhu kritis, maka gas tidak akan dapat mencair berapapun tekanannya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.4.2              Metode Pencairan Gas

Proses pencairan gas secara umum dapat dilakukan dengan cara :
1.       Didinginkan pada tekanan atmosfer.
2.       Ditekan pada suhu atmosfer
Semua gas dapat dicairkan dengan cara didinginkan pada tekanan atmosfer asalkan tersedia media pendingin yang sesuai, yaitu mencapai suhu pada titik embun gas itu, atau lebih rendah.
Contoh :
a)           Titik embun C1 (Metana) pada tekanan atmosfer = -162˚C.
b)          Titik embun C2 (Etana) pada tekanan atmosferis = -89˚C.
Dari keterangan di atas, maka untuk mencairkan C1 pada tekanan 1 atm Æ perlu media pendingin yang mampu mendinginkan gas tersebut sampai suhu -162˚C atau lebih rendah. Untuk mencairkan C2 pada tekanan 1 atm Æ perlu media pendingin yang mampu mendinginkan gas tersebut sampai suhu -89˚C atau lebih rendah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.4.3              Unit Proses Pembuatan Gas Alam Cair (LNG)

1.              Tahap-Tahap dalam Proses Pembuatan Gas Alam Cair (LNG)
Proses pembuatan Gas Alam cair (LNG) meliputi tahapan sebagai berikut :
a)  Proses Penyerapan CO2 dan H2S
Proses ini dilakukan di Plant-1 atau biasa disebut dengan “CO2 & H2S Absorbtion Unit”. Di Plant ini CO2 & H2S dipisahkan dari dalam gas umpan (gas alam) dengan memakai larutan Alkanol Amine yaitu larutan MEA (Mono Ethanol Amine) sebagai bahan penyerap (absorbent). Kemudian larutan MEA yang telah jenuh dengan CO2 dan H2S diregerasi
/diaktifkan kembali.
b)  Proses Penghilangan Uap Air dan Air Raksa (mercury)
Proses ini dilakukan di Plant-2 atau disebut dengan Dehidration Unit & Mercury Removal Unit. Di unit ini, uap air yang ada di dalam gas umpan dipisahkan dengan cara penyerapan oleh zat penyerap Molecular Sieve/Solid Desiccant, kemudian gas yang sudah bebas uap air dilewatkan melalui Mercury Removal Vessel untuk menyerap kandungan mercury (air raksa).
c)  Proses Penghilangan/Pemisahan Hidrokarbon Berat
Proses ini dilakukan di Plant-3 atau disebut dengan Scrub Column & Fractionation Unit. Proses penghilangan hidrokarbon berat dilakukan dengan cara Fraksinasi Light End / Distilasi bertekanan.
d)  Proses Pendinginan atau Refrigerasi



Proses ini dilakukan di Plant-4 atau disebut dengan Refrigeration Unit. Ada 2 macam sistem refrigerasi yang dipakai yaitu :
1.  Sistem refrigerasi dengan media pendingin propana (Propane Refrigeration Unit)
Propana dipakai untuk mendinginkan gas umpan dan media pendingin MCR (Multi Component Refrigerant).
2.  Sistem refrigerasi dengan media pendingin MCR (Multi Component Refrigeration Unit)
Dalam proses ini, MCR yang telah didinginkan oleh propana, selanjutnya digunakan untuk mendinginkan lanjut gas umpan yang telah didinginkan terlebih dahulu dengan propane. Campuran bahan untuk MCR adalah Nitrogen, Metana, Etana dan Propana.
e)  Proses Pencairan
Proses ini dilakukan di Plant-5 atau disebut Liquefaction Unit. Gas umpan yang telah didinginkan lebih dulu oleh Propana Refrigeration Unit, selanjutnya oleh MCR Refrigeration Unit didinginkan lebih lanjut dan dicairkan di dalam Alat Pendingin lanjut yang disebut Main Heat Exchanger menjadi gas alam cair (LNG) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
2.              Uraian Singkat Proses Pembuatan LNG
Gas alam sebelum dicairkan menjadi LNG terlebih dahulu dibersihkan dari senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki seperti CO2, H2S, H2O, Hg dan hidrokarbon berat (C5H12+), yang gunanya untuk mencegah hal-hal yang dapat mengganggu proses pencairan pada suhu yang sangat rendah. Gas alam yang diterima dari lapangan-lapangan dan yang diterima dari proses lain, dengan melalui pipa saluran bergabung menjadi satu aliran yang selanjutnya dialirkan ke Unit Pencairan Gas (NGL) Plant pada tekanan sekitar 600 psig (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
NGL = Natural Gass Liquefaction 600 psig = • 42 kg/cm2
Gas umpan (gas alam) ini dilewatkan dalam sebuah kolom yang dinamakan CO2 & H2S Absorber, dimana kandungan CO2 & H2S akan diserap dari dalam gas umpan dengan memakai larutan Alkanol Amine yaitu MEA (Mono Ethanol Amine). Larutan MEA yang telah menyerap CO2 & H2S selanjutnya diaktifkan kembali atau diregenerasi di dalam suatu sistem regenerasi (Regenerator Column) untuk



melepaskan CO2 & H2S dengan cara pemanasan (Stripping). Kemudian larutan MEA yang telah diregenerasi tadi dialirkan kembali ke Kolom Absorber untuk menyerap CO2 & H2S yang lain dari dalam gas umpan. Demikian operasi ini berlangsung secara terus menerus. Tujuan dari pemisahan CO2 & H2S dari dalam gas umpan adalah untuk menghindari problema pembekuan di dalam peralatan- peralatan proses ketika gas dalam proses pendinginan dan pencairan. Selain itu adanya zat yang bersifat asam dapat menyebabkan korosi pada peralatan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Gas umpan yang telah bersih dari kandungan CO2 & H2S selanjutnya dilewatkan melalui Unit Pengering (Drier) untuk menyerap kandungan uap air dengan memakai bahan penyerap Molecular Sieve (Solid Desiccant) sampai kadar air di dalam gas alam mencapai batas-batas maksimum yang diizinkan. Ada 2 buah Unit Pengering yang bekerja secara bergantian, apabila Drier yang satu sedang bekerja/beroperasi untuk menyerap uap air dari dalam gas umpan, maka Drier yang satu lagi sedang diaktifkan kembali/diregenerasi. Proses regenerasi Unit Pengering dilakukan dengan cara mengalirkan gas yang telah lebih dulu dipanaskan pada suhu sekitar 270˚C oleh suatu Heater, dengan cara berlawanan arah ke dalam Unit Pengering tersebut. Gas regenerasi yang telah mengandung uap air ini setelah dibuang/dipisahkan airnya dengan menggunakan alat pendingin Condensor, kemudian dikembalikan ke aliran gas umpan yang akan masuk ke Unit Pengering. Penghilangan uap air dari gas umpan juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pembekuan di dalam peralatan-peralatan proses ketika gas alam dalam proses pendinginan dan pencairan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Selanjutnya gas alam yang telah bersih dari uap air dialirkan melalui alat penyerap mercury/air raksa (Mercury Removal Vessel). Kandungan mercury di dalam gas alam diserap dengan menggunakan penyerap karbon aktif yang mengandung sulfur, sehingga sulfur akan mengikat mercury dari dalam gas alam yang melewati bahan penyerap karbon tadi, walaupun pada kenyataannya kandungan mercury dalam gas alam sangat kecil sekali. Mercury harus dibuang karena bahan ini dapat merusak peralatanperalatan yang terbuat dari alumunium, khususnya alat pendingin utama yaitu Main Heat Exchanger. Gas alam (gas umpan) yang keluar dari Mercury Removal Unit kemudian dilewatkan melalui alat pendingin/Evaporator untuk didinginkan sampai pada suhu sekitar -27˚C agar dapat dipisahkan dari kandungan hidrokarbon beratnya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).



Pemisahan hidrokarbon berat dilakukan di dalam Scrub Column Unit, dimana fraksi ringan keluar dari bagian atas (top) Scrub Column, kemudian didinginkan di dalam alat pendingin/Evaporator sampai suhu sekitar -34˚C, lalu dialirkan ke alat pendingin utama (pendingin lanjut) untuk proses pencairan. Sedangkan fraksi-fraksi berat keluar dari bagian bawah (bottom) Scrub Column, dialirkan ke Unit Fraksinasi untuk selanjutnya dipisahkan ke dalam komponen-komponennya yaitu Etana, Propana dan Butana serta hidrokarbon paling berat (C5+). Komponen-komponen yang dihasilkan terutama propana dan butana sebagian dicampurkan ke aliran gas yang masuk ke alat pendingin utama (Main Heat Exchanger) untuk dicairkan bersama-sama dengan aliran gas umpan. Gunanya adalah untuk menaikkan nilai BTU (British Thermal Unit) atau nilai kalori dari LNG yang dihasilkan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Sedangkan sebagian dari komponen-komponen tersebut disimpan di dalam tangki timbun untuk bahan “Refrigerant Make Up” dan untuk bahan bakar LPG. Fraksi hidrokarbon paling berat (C5+) dari hasil akhir fraksinasi dikirimkan ke tangki penampung sementara, untuk selanjutnya dikirim kembali ke lapangan untuk dipakai sebagai bahan pencampur crude oil, atau dipakai sebagai komponen MOGAS (campuran bahan bakar bensin). Aliran gas umpan yang telah didinginkan oleh sistem refrigerasi dengan media pendingin propana kemudian di dalam Main Heat Exchanger (Main HE) didinginkan lebih lanjut dan dicairkan menjadi LNG dengan pertolongan Sistem Refrigerasi dengan media MCR (Multi Component Refrigerant). MCR dengan suhu sekitar -34˚C oleh sistem pendingin propana dan tekanan sekitar 35 kg/cm2 diekspansikan di dalan Shell dari Main Heat Exchanger menjadi sekitar 2,5 kg/cm2 sehingga terjadi penurunan suhu yang sangat rendah dari MCR di dalam Shell dan akhirnya MCR mampu untuk menurunkan suhu gas umpan dan mencairkannya menjadi LNG pada suhu sekitar -160˚C. Selanjutnya LNG yang dihasilkan dari Main Heat Exchanger ditampung di dalam tangki penampung sementara (Drum/Vessel), yang akhirnya dipompakan ke tangki timbun, menunggu saatnya didistribusikan/ dikapalkan untuk diexport (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).

4.4.4              Uraian Proses Pembuatan LNG di Pabrik Cluster LNG

Secara garis besar proses di pabrik cluster LNG ini terdiri dari 4 unit. Unit yang pertama adalah unit dehydration yang berfungsi untuk menghilangkan kadar H2O pada feed gas, agar tidak terjadi pembekuan H2O selama proses pendinginan. Pada unit dehydration ini dipilih proses adsorption dengan adsorbent molecular sieve 3A. Proses adsorption dipilih pada unit dehydration dikarenakan dengan proses ini H2O dapat hilang hingga batas max yakni kurang dari 1 ppm, hal ini sesuai dengan spesifikasi produk yang diinginkan, proses ini tidak mengadsorp hidrokarbon, proses ini mudah diregenerasi dan proses ini cocok untuk mengikat H2O yang memiliki ukuran partikel 0,28 nm (2,8 Å) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Unit yang kedua adalah unit acid gas removal yang berfungsi untuk menghilangkan CO2 dan H2S menggunakan Pressure Swing Adsorption. Metode pressure swing adsorption ini cocok untuk pabrik dengan kapasitas kecil, allowable untuk kadar H2S yang tinggi dan dapat mengikat CO2 dan H2S juga. Pada proses ini, melibatkan dua molecular sieve sebagai adsorban yaitu zeolit molecular sieve 13X dan carbon molecular sieve 3K. Kedua molecular sieve tersebut berfungsi untuk menyerap pengotor-pengotor yang terikut bersama feed gas. Zeolit berfungsi untuk mengadsorp CO2 dan H2S. Carbon berfungsi untuk mengadsorp N2 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Unit yang ketiga adalah fractionation unit yang berfungsi untuk memisahkan fraksi ringan dengan fraksi berat dari gas alam berdasarkan titik didih komponennya yaitu LNG dan LPG. Plant ini dibagi menjadi 2 unit yaitu LNG Distillation Column dan LPG Distillation Column. Pada pabrik ini seperti yang berlokasi di Gresik digunakan propane pre-cooled mixed refrigerant sebagai pendinginnya karena LNG adalah cairan cryogenic yang berarti temperatur rendah, umumnya di bawah -100oF dan juga proses ini biaya operasinya lebih murah dibandingkan dengan pendingin nitrogen (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).
Unit yang terakhir adalah unit liquefaction yang berfungsi untuk mencairkan LNG sehingga mencapai temperatur -161oC. Proses yang digunakan adalah expander cycle dengan refrigerant nitrogen. Proses ini peralatannya lebih sederhana dan sesuai untuk skala yang kecil serta lebih aman. Berikut ini adalah Gambar 4.9 dan Gambar
4.10 yang menjelaskan keseluruhan proses (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015).



BAB 5. PENUTUP


5.1                    Kesimpulan

Gas alam mentah mengandung sejumlah karbon dioksida, hidrogen sulfida, dan uap air yang bervariasi. Adanya hidrogen sulfida dalam gas alam untuk konsumsi rumah tangga tidak bisa ditoleransi karena sifat racunnya. Zat ini juga menyebabkan karat pada peralatan logam. Karbon dioksida tidak diinginkan, karena zat ini akan mengurangi nilai panas gas dan akan memadat pada tekanan tinggi dan temperatur rendah yang dipakai pada pengangkutan gas alam. Untuk mendapatkan gas manis atau gas alam kering, maka gas-gas asam harus diambil dan uap air dikurangi. Sebagai tambahan, gas alam dengan sejumlah berarti hidrokarbon berat harus diolah untuk mendapatkan cairan-cairan gas alamnya. Proses pengolahan gas alam menjadi LNG/LPG bertujuan untuk memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi. Proses awal yaitu Process Train adalah unit pengolahan gas alam hingga menjadi LNG serta produk-produk lainnya (pencairan fraksi berat dari gas alam). Dalam pengolahan gas alam di process train dilakukan proses pemurnian, pemisahan H2O dan Hg, serta pendinginan dan penurunan tekanan secara bertahap hingga hasil akhir proses berupa LNG. Terdiri dari beberapa tahapan yaitu Plant 1 (Gas Purification), Plant 2 (Gas Dehydration and Mercury Removal), Plant 3 (Fractination), Plant 4 (Refrigeration), Siklus Pendingin Prophane, Siklus Pendingin MCR, Plant 5 (Liquefaction).
Proses di Plant 1 adalah pemurnian gas dengan pemisahan kandungan CO2 (Karbon Dioksida) dari gas alam. Plant 2 adalah proses pemisahan kandungan uap air (H2O) dan merkuri (Hg) dari gas alam karena kehadirannya dapat menghambat proses pencairan pada suhu rendah. Plant 3 adalah proses pemisahan (fractination) gas alam dari fraksi-fraksi berat (C2, C3, … , dst). Plant 4 adalah proses pendinginan dengan menggunakan Prophane dan MCR sebagai pendingin diperoleh dari hasil sampingan pengolahan LNG. Siklus Pendingin Prophane adalah siklus yang menunjukkan perubahan fase cairan prophane menjadi gas prophane setelah temperaturnya naik karena dipakai mendinginkan gas alam maupun MCR. Siklus Pendingin MCR adalah siklus yang menunjukkan perubahan fase cairan MCR menjadi gas MCR dengan kenaikan temperatur karena dipakai pendinginan gas alam pada Main Heat Exchanger 5E-1. Plant 5 adalah proses pendinginan dan pencairan gas alam setelah gas alam mengalami pemurnian dari CO2, pengeringan dari kandungan H2O, pemisahan Hg serta pemisahan dari fraksi beratnya dan pendinginan bertahap oleh prophane. Gas alam menjadi cair setelah keluar dari Main Heat Exchanger 5E-1 dan peralatan lainnya selanjutnya ditransfer ke storage tank.
Hasil pengolahan gas alam mentah dapat berupa gas alam kondensat, sulfur, etana, dan gas alam cair (NGL) meliputi propana, butana, dan C5+ (istilah yang umum digunakan untuk pentana ditambah dengan molekul hidrokarbon yang lebih tinggi). Produk gas alam berupa LNG (Liquefied Natural Gas), LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan lain sebagainya seperti CNG (Compressed Natural Gas), HSD, MFO, dan IFO. Sistem transportasi gas alam meliputi transportasi melalui pipa salur, transportasi dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) dengan kapal tanker LNG untuk pengangkutan jarak jauh, dan transportasi dalam bentuk CNG (Compressed Natural Gas), di daratan dengan road tanker sedangkan di laut dengan kapal tanker CNG, untuk pengangkutan jarak dekat dan menengah (antar pulau).

5.2                    Saran

Saran yang dapat disampaikan dari penulis kepada pembaca adalah melakukan pemanfaatan gas alam secara benar dan sesuai dengan kebutuhan karena meskipun jumlah gas alam di Indonesia cukup besar namun pemrosesan untuk memperolehnya membutuhkan waktu yang panjang. Pengolahan gas alam yang dilakukan oleh industri harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan karena kesalahan sedikit yang telah dilakukan dapat berakibat kerugian hingga ratusan bahkan milyaran rupiah. Pengolahan gas alam yang dilakukan juga harus memperhatikan AMDAL sehingga dampak negatif ke lingkungan dapat dicegah.



DAFTAR PUSTAKA


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2015. Gas Processing. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permatasari, A., F. Harris, U.D. Pratiwi. 2016. Teknologi Pengolahan Gas Alam.
Jakarta: Persatuan Insinyur Indonesia.
Prima, A.R. 2016. Pengembangan dan Pemanfaatan Gas di Indonesia. Jakarta: Persatuan Insiyur Indonesia.
Putri, P.A., S.S. Hajar, G. Wibawa, dan Winarsih. 2013. Plant Design of Cluster LNG (Liquefied Natural Gas) in Bukit Tua Well, Gresik. Jurnal Teknik Pomits, 2(1): 53-55.
Syukur, M.H. 2016. Potensi Gas Alam di Indonesia. Jurnal Forum Teknologi, 6(1): 64- 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar