Minggu, 01 Desember 2019

Makalah Susu Pateurisasi

TEKNOLOGI BAHAN MAKANAN DAN PANGAN FUNGSIONAL
SUSU PASTEURISASI



Disusun oleh :
Bimo Bayu Aji (181910401016)




PROGRAM STUDI REKAYASA/TEKNIK KIMIA
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
Oktober, 2019




Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Susu Pasteurisasi ini pada waktu yang telah ditentukan. Terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Teknologi Bahan Makanan dan Fungsional yang telah memberikan tugas ini. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan tugas bagi mahasiswa yang tengah mempelajari mata kuliah Teknologi Bahan Makanan dan Fungsional, khususnya mahasiswa S1 Rekayasa/Teknik Kimia Universitas Jember.
            Ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karenanya kritik dan saran penyusun harapkan sebagai langkah perbaikan kedepannya.
            Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jember, 30 September 2018


            Penyusun



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk memperkuat tulang sehingga tulang lebih padat, tidak rapuh dan tidak mudah terkena risiko osteoporosis pada saat usia lanjut. Agar tulang menjadi kuat, diperlukan asupan zat gizi yang cukup terutama kalsium. Kalsium merupakan zat utama yang diperlukan dalam pembentukan tulang, dan zat gizi ini antara lain dapat diperoleh dari susu (Ide, 2008). 
Sejalan dengan peradaban manusia dan perkembangan teknologi modern, manusia menemukan cara perlakuan dan praktik pengolahan terhadap susu, sehingga menghasilkan ragam produk susu yang tersedia di pasar bagi penduduk diseluruh dunia. Dengan adanya pengolahan (processing) terhadap susu, maka produk susu yang dihasilkan dapat disimpan lebih lama sebelum dikonsumsi, memungkinkan bagi konsumen menyesuaikan pembelian produk susu dengan fungsi kebutuhan, kegunaan, dan seleranya. Setiap produk susu memiliki daya simpan (shelf life) yang berbeda, sedangkan daya simpan produk susu dipengaruhi terutama oleh kualitas bahan  baku susu (raw milk) yang digunakan (Haris Budiyanto, 2009).
Susu pasteurisasi atau dikenal dengan istilah pasteurized milk adalah produk susu yang diperoleh dari hasil pemanasan susu pada suhu minimum 161 °F selama minimum 15 detik, segera dikemas pada kondisi yang bersih dan terjaga sanitasinya. Beberapa bakteri akan bertahan pada suhu pasteurisasi, dalam jumlah yang sedikit, namun mereka dipertimbangkan tidak berbahaya dan tidak akan merusak susu selama kondisi pendinginan yang normal. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan susu segar untuk membunuh jasad-jasad renik yang dapat membahayakan kesehatan. Seperti diketahui, Kuman penyakit TBC dan Thypus dapat juga berasal dari susu. Karena pasteurisasi juga dapat membunuh sebagian jasad renik pembusuk yang memperpendek daya simpan susu, maka susu yang sudah dipasteurisasi relatif lebih awet dari pada susu segar. Mengenai nilai gizinya, relatif sama dengan susu segar (Haris Budiyanto, 2009).

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu Susu Pasteurisasi ?
2.      Bagaimana daya simpan Susu Pasteurisasi?
3.      Faktor apa saja yang mempengaruhi daya simpan Susu Pasteurisasi?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui lebih jelas tentang Susu Pasteurisasi
2.      Untuk mengetahui daya simpan dari Susu Pasteurisasi
3.      Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi daya simpan Susu Pasteurisasi?



BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Susu Pasteurisasi
Sejarah pengolahan susu dalam peradaban manusia, dimulai pada Tahun 1900-an,
saat itu terjadi peristiwa dan penemuan bahwa susu dapat menyebarkan tuberculosis,
scarlet fever, dan diphtheria kepada manusia; terhadap ancaman penyebaran penyakit
ini dan insiden wabah penularan melalui susu, maka kesadaran timbul untuk menjaga
dan meningkatkan sanitasi dalam pemeliharaan, pemerahan, dan penanganan produksi
susu, selain itu pula dengan adanya peristiwa tersebut telah menjadi momentum penting,
yakni dimulainya proses pasteurisasi pada susu. Hasilnya terbukti bahwa
peningkatan sanitasi pada kegiatan produksi susu dan proses pasteurisasi susu, sejak
saat itu peristiwa wabah penyakit yang ditularkan melalui susu dapat berkurang secara
drastis.
Pengolahan susu memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yakni : membunuh bakteri pathogen melalui pasteurisasi; menjaga kualitas produk tanpa kehilangan atau penurunan nyata pada flavor, bentuk, kandungan fisik dan nutrisi; dan mengendalikan secara selektif pertumbuhan organisma yang menghasilkan produk/materi/substansi tidak dikehendaki. Sehingga pabrik pengolahan susu menjalankan prosedur pengolahan secara efektif yang ditujukan untuk mencegah kontaminasi bakteri pada bahan baku susu; mengurangi jumlah bakteri di dalam susu; dan menjaga atau melindungi finished product dari potensi rekontaminasi melalui penanganan yang cermat, pengemasan yang memadai, dan penyimpanan yang sesuai. Susu pasteurisasi atau dikenal dengan istilah pasteurized milk adalah produk susu yang diperoleh dari hasil pemanasan susu pada suhu minimum 161 °F selama minimum 15 detik, segera dikemas pada kondisi yang bersih dan terjaga sanitasinya. Beberapa bakteri akan bertahan pada suhu pasteurisasi, dalam jumlah yang sedikit, namun mereka dipertimbangkan tidak berbahaya dan tidak akan merusak susu selama kondisi pendinginan yang normal.
2.2 Daya Simpan Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi yang dihasilkan dan dipasarkan sangat beragam, dengan perbedaan jenis pasteurisasi yang dilakukannya, pengemasan, dan penyimpanannya, terlebih juga produsen di Indonesia, yang menyertakan atau menambahkan flavor (aroma dan rasa) ke dalam produk susu pasteurisasi yang dihasilkannya. Pada tabel berikut ini disajikan perbandingan jenis pasteurisasi dengan perbedaan daya simpannya.

Tabel 2.1 Perbandingan jenis Pasteurisasi dengan perbedaan daya simpan
Sumber

Jenis Pasteurisas

Daya Simpan

Keterangan

Boor (2001)

HTST

14 hari
(disimpan
dalam lemari
es)
Daya simpan dibatasi oleh
pertumbuhan bakteri
psychrotrophic, perubahan aroma
(off-flavors) disebabkan
pertumbuhan jumla
Douglas dkk. (2000)
Digunakan suhu
yang lebih tinggi
dari HTST
(78°C,16-30 detik)
15 – 25 hari
(disimpan
dalam lemari
es).
Dillakukan oleh industri
pengolahan susu dengan teknologi
pengisian dan kemasan,
membunuh lebih banyak
mikroba,dan mengurangi
kontaminasi.
Fromm dan Boor (2004)
Setelah hari ke – 17, pada
penyimpanan di lemari es, bakteri
gram-positif pembentuk spora
ditemukan, bakteri ini penyebab
utama pencemaran pada susu.
www.foodsafetysite.com

Ultrapasteurization
280° F (138° C),
selama 2 detik
(tanpa kemasan
hermatis)
60-90 hari
(disimpan
dalam lemari
es).
Dengan pertimbangan kemasan
yang digunakan umumnya kurang
kuat, maka produk susu
pasteurisasi ini harus segera
didinginkan selama penyimpanan.
Ultra-High
Temperature
(UHT)
Pasteurization
280°- 302°F (138°-
150°C), selama 1-2
detik

90 hari (tanpa
disimpan dalam
lemari es).
Produk susu ini umumnya
dikemas dalam keadaan steril,
dengan kemasan berlapis
hermatis, dapat disimpan tanpa
pendinginan selama
penyimpanan.

Dalam industri persusuan internasional saat ini, pembahasan tentang pentingnya kualitas susu terutama berdasarkan jumlah bakteri (total plate count disingkat TPC) dan jumlah sel somatic (somatic cell count disingkat SCC) pada bahan baku susu merupakan topik yang aktual bagi produsen susu, karena keduanya merupakan factor yang menentukan kemampuan berapa lama produk susu yang dihasilkannya dapat disimpan selama proses distribusi dan pemasaran, hingga akhirnya dikonsumsi oleh pelanggan. Pemeriksaan dan pengendalian terhadap TPC dan SCC pada bahan baku susu semakin intensif dilakukan oleh produsen susu, terutama bagi produsen susu yang beroperasi pada pasar produk susu internasional, produsen susu (Australia, Amerika Serikat, dan Eropa) berharap dapat memasuki pasar susu di negera-negara berkembang, dengan keunggulan kualitas produk susu yang dihasilkannya, selain kandungan nutrisi dan aspek daya simpannya. Standar kualitas bahan baku susu berdasarkan TPC dan SCC harus dijadikan landasan kepentingan perlindungan kesehatan publik, bukan hanya semata untuk memaksimasi kepentingan produsen produk susu dengan memperpanjang daya simpannya.
2.3 Faktor yang mempengaruhi daya simpan Susu Pasteurisasi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperlukan tanggungjawab produsen susu pasteurisasi untuk menjamin bahwa daya simpan yang dicantumkan pada produknya dapat diteliti secara seksama, berdasarkan TPC dan jumlah Bacillus cereus, disesuaikan dengan suhu penyimpanan yang disarankan kepada para konsumennya. Dalam hal ini, tampak pada kurva prediksi bahwa pada suhu penyimpanan yang tidak sesuai (9 °C dan di atasnya), maka pencemaran susu pasteurisasi akan banyak disebabkan oleh Bacillus cereus. Namun bukan berarti penyimpanan di bawah 9 °C akan tetap aman, bakteri lainnya yang bersifat psychrotrophic akan menjadi penyebab kerusakan dan keracunan pada susu. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa pemeriksaan dan penyortiran bahan baku susu berdasarkan TPC menjadi faktor penting untuk menghasilkan susu pasteurisasi yang berkualitas baik dan memiliki daya simpan yang cukup lama. Sebagaimana dimaklumi bahwa pengendalian TPC yang terkandung pada susu segar dalam negeri masih menjadi persoalan yang pelik, batas jumlah mikroba 3 juta per ml saja masih sulit dicapai, lebih berat lagi bila dihadapkan pada standar yang berlaku secara internasional (1 juta per ml). Sementara, kualitas susu segar di Australia, Amerika Serikat, dan Eropa, mampu menekan jumlah miroba hingga kurang dari 200.000 per ml, dari bahan baku susu segar yang berkualitas ini mereka mampu menghasilkan produk susu pasteurisasi HTST yang berdaya simpan sampai 12 hari, dibandingkan dengan produk susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh unit pengolahan susu koperasi, daya simpannya berkisar 4-6 hari (pada suhu penyimpanan 4 °C).
Bagi industri pengolahan susu di Indonesia, penggunaan teknologi UHT dan pemanfaatan susu rekombinasi merupakan solusi yang dapat ditempuh saat ini untuk dapat beroperasi dan mampu memasarkan produk susu pasteurisasi di pasar domestik, sehingga pada satu sisi masih dapat menerima pasokan susu segar dalam negeri dan pada sisi lain secara komersil masih dapat menghasilkan produk susu pasteurisasi (UHT) yang berdaya simpan lebih lama (sampai 90 hari), dengan kemasan berlapis hermatis, dapat disimpan tanpa pendinginan selama penyimpanan, sebagian berbentuk plain, dan sebagian lain diberi flavor, dalam hal ini flavor (seperti coklat atau strawberi) yang ditambahkan dapat mengurangi atau menutupi flavor gosong yang khas pada susu pasteurisasi UHT. Salah satu produk susu cair prosuksi Industri Pengolahan Susu (IPS) di Indonesia, yang menggunakan UHT sterilisasi (140 °C selama 4 detik), dengan kemasan karton yang berlapis polyethylene plastic, aluminum foil, dan kertas memberikan jaminan daya simpan hingga 10 bulan, pada penyimpanan suhu kamar (tidak didinginkan), namun jika kemasan sudah dibuka, masih layak untuk dikonsumsi dalam waktu 7 hari (pada suhu penyimpanan 4 °C).
Sementara upaya menekan TPC pada bahan baku susu segar dalam negeri masih menjadi persoalan yang pelik, masih ada faktor lainnya yang perlu diperhatikan untuk dapat menghasilkan produk susu pasteurisasi yang berkualitas dan berdaya simpan yang lebih lama, faktor itu adalah SCC. Produsen susu pasteurisasi umumnya tidak cukup fokus untuk memperhitungkan SCC sebagai salah satu ukuran untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkannya. Kandungan SCC yang tinggi pada bahan baku susu segar dapat menimbulkan kerusakan pada susu pasteurisasi, walaupun TPC rendah. SCC yang tinggi menimbulkan peningkatan enzim protease yang tahan panas (plasmin) dan lipase pada susu, enzim dimaksud akan menyebabkan kerusakan pada protein dan lemak, selama proses penyimpanan susu pasteurisasi, dan menhasilkan “off flavors”, sehingga SCC menjadi faktor lainnya yang mengurangi daya simpan, selain TPC. Secara umum SCC untuk standar internasional (untuk bahan baku susu) dalam kisaran kurang dari 100.000 sel/ml s.d. 300.000 sel/ml, sedangkan di Indonesia toleransi jumlah sel radang maksimum 4 X 10 5/ml. Untuk mengatasi kecenderungan kandungan SCC yang tinggi pada bahan baku susu ini dan pengaruhnya setelah pasteurisasi, maka suhu penyimpanan yang tepat sangat perlu diperhatikan, agar daya simpan produk susu pasteurisasi dapat dipertahankan relatif lebih lama.



BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.      Susu pasteurisasi atau dikenal dengan istilah pasteurized milk adalah produk susu yang diperoleh dari hasil pemanasan susu pada suhu minimum 161 °F selama minimum 15 detik, segera dikemas pada kondisi yang bersih dan terjaga sanitasinya.
2.      Daya simpan Susu Pasteurisasi bergantung pada suhu yang digunakan pada saat pemanasan. Variasi suhu digunakan untuk mengetahui mikroba apa saja yang akan mati dan bertahan pada saat pemanasan.
3.      Faktor yang mempengaruhi daya simpan Susu Pasteurisasi adalah TPC dan SCC

3.2 Saran
                Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu diharapkan pembaca dapat mendapat ilmu dan juga dapat memperbaiki dan mengembangkan makalah ini. Penulis berharap pembaca dapat memahami dengan benar isi makalah dan dapat diterapkan pada kehidupan.



DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto Haris. 2009. Analisis Daya Simpan Produk Susu Pasteurisasi Berdasarkan Kualitas Bahan Baku Mutu Susu. Paradigma. Vol X. No. 2. Hal: 198.
Ide, P. 2008. Healt Secret Of Kefir. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Makalah Pengalengan Ikan Sarden

TEKNOLOGI BAHAN MAKANAN DAN PANGAN FUNGSIONAL
PENGALENGAN IKAN SARDEN



Disusun oleh :
Bimo Bayu Aji (181910401016)




PROGRAM STUDI REKAYASA/TEKNIK KIMIA
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
November, 2019



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat,  taufik,  dan  hidayah -Nya  sehingga  Makalah ini  dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kedua kalinya shalawat serta salam  semoga  tetap  tercurahkan  kepada  junjungan  kita  Nabi  Besar  Muhammad SAW  sehingga  Makalah yang berjudul  yang  berjudul “Pengawawetanbahan Makanan (Pengalengan Ikan Sarden)” dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini  di  buat  untuk  memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Bahan Makanan Dan Pangan Fungsional. Melalui  kesempatan  ini  pula  penulis sampaikan terima kasih kepada :
Dosen pengapu mata kuliah bu Istiqomah Rahmawati S.Si., M.Si.,  dan  seluruh  pihak  yang  ikut  membantu  dalam  menyelesaikan  penulisan makalah ini.
Harapannya makalah ini dapat bermanfaat bagi khalayak umum baik  sebagai  referensi  penelitian  maupun  yang  lainnya  untuk  mengembangkan ilmu  pengetahuan  sehingga  dapat  mempermudah  dalam  menyelesaikan  tugas sehari-hari.  Kritik  dan  saran  juga  diharapkan  dari  penulis  agar  dapat menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

Jember, 7 September 2019



Penulis






1.1 Latar Belakang
Ikan sarden merupakan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk olahan. Jenis ikan sarden yang banyak terdapat di Indonesia adalah ikan lemuru. Karena nama lemuru kurang dikenal di masyarakat, maka dipergunakanlah nama sarden yang juga merupakan nama genus dari ikan lemuru ini. Menurut Rasyid (2013) ikan lemuru (Sardinella.sp) merupakan jenis ikan pelagik kecil yang banyak dijumpai di perairan Indonesia. Ikan lemuru termasuk ikan berkualitas rendah dan kurang mendapat perhatian di Indonesia, harganya relatif rendah dan cepat mengalami penurunan mutu. Hasil perikanan merupakan komoditi yang cepat mengalami kemunduran mutu, atau mengalami pembusukan, karena ikan mempunyai kandungan protein (18-30%) dan air yang cukup tinggi (70-80%) sehingga merupakan media  yang baik bagi perkembangan bakteri pembusuk. Kelemahan tersebut sangat menghambat usaha pemasaran hasil ikan bahkan menimbulkan kerugian besar. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan daya simpan dan kualitas produk perikananmelalui proses pengolahan atau pengawetan. Prinsip pengolahan ikan pada dasarnya bertujuan melindungi ikan dari pembusukan dan kerusakan. Selain itu juga untuk memperpanjang daya awet dan mendiversifikasikan produk olahan hasil perikanan. Salah satu jenis pengolahan yang dapat digunakan untuk menghambat kegiatan zat-zat mikroorganisme adalah pengalengan ikan (Fadli, 2011). 
Pengalengan merupakan salah satu bentuk pengolahan dan pengawetan ikan secara modern yang dikemas secara hermatis dan kemudian disterilkan. Bahan pangan dikemas secara hermetis dalam suatu wadah, baikkaleng, gelas atau alumunium. Pengemasan secara hermetis dapat diartikan bahwa penutupannya sangat rapat sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air,kerusakan oksidasi maupun perubahan cita rasa. Oleh karena itu pada makalah ini akan dijelaskan lebih detail tentang pengalengan ikan.
Pengalengan merupakan salah satu bentuk pengolahan dan pengawetanikan modern yang dikemas secara hermatis dan kemudian di sterilkan. Bahan pangan dikemas secara hermatis dalam suatu wadah baik kaleng, gelas, atau alumunium. Pengemasan secara hermatis dapat diartikan bahwa penutupannyasangat rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, kerusakan oksidasimaupun perubahan cita rasa (Fitri, 2015). Pengalengan ikan sarden ini umumnya dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan bahan baku ikan lokal dan dapat pula dipasok dari ikan impor untuk memenuhi kebutuhan produksi perusahaan. Pengalengan mengakibatkan ikan mengalami peningkatan harga jual dan dapat dipasarkan ke masyarakat luas (Maleva 2011).
1.2 Rumusan Masalah
1.       Apa pengawetan makanan ?
2.       Bagaimana proses pengawetan makanan dengan cara pengalengan ?
3.       Apa itu sarden ?
4.       Bagaimana cara pengolahan ikan sarden ?
1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu pengawetan makanan
2.      Untuk  mengetahui proses pengawetan makanan
3.      Untuk mengetahui produk sarden
4.      Untuk mengetahui proses pengoahan ikan sarden




            Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan yang memiliki daya simpan yang lebih lama serta mempertahankan sifat - sifat fisik dan kimia makanan yang diawetkan. Pengawetan makanan harus memperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan makanan. Teknologi pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri masa kini berbasis pada cara-cara tradisional yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi bahan makanan. Tujuan pengawetan yaitu menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan dan penyimpanan. Salah satu cara pengawetan adalah penambahan bahan pengawet (Fauzi, 2015). Efektivitas suatu pengawet ditentukan oleh macam dan konsentrasinya, komposisi bahan pangan, jenis dan populasi mokroba yang akan dihambat, serta media yang akan dibubuhi pengawet. Umumnya, semakin tinggi konsentrasi pengawet yang digunakan, semakin besar efektivitasnya. Untuk memperoleh daya kerja optimal harus diperhatikan macam pengawet, serta jenis dan populasi mikroba yang akan dihambat atau dihentikan pertumbuhannya (Nurnaningsih, 2015).
Proses pengawetan lebih tepat dikatakan sebagai usaha untuk menghambat kerusakan karena lambat atau cepat bahan yang telah diawetkan akan mengalami kerusakan juga. Bahan yang awet mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada bahan yang tidak awet karena resiko terjadinya kerusakan dapat diperkecil. Bahan yang awet meskipun mengalami perubahan-perubahan, proses terjadinya perubahan itu sangat lambat sehingga seolah-olah bahan itu tidak mengalami perubahan. Bahan yang diawetkan mudah cara penanganannya karena sortasi tidak perlu dilakukan serta kemungkinan penularan atau kontaminasi dapat diperkecil. Biasanya bentuk bahan yang diawetkan dapat mudah diatur dengan ringkas dan praktis (Supli, 2015).

2.2.1 Pengawetan secara Kimia

Pengawetan makanan secara kimia yaitu dengan menggunakan bahan-bahan kimia, seperti gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat, asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam makanan yang diawetkan (Supli, 2015). Pengawetan secara kimia paling banyak dilakukan orang karena cara ini dianggap paling mudah dan paling murah. Pengawetan  secara kimia meliputi :
a. Penggaraman
b. Pengasaman
c.  Pemanisan
d. Penggunaan bahan pengawet

2.2.2 Pengawetan Makanan secara Biologi

Pengawetan secara biologis adalah pengawetan dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Pengawetan makanan secara Biologi meliputi:
a.      Peragian (Fermentasi)
Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi) adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal (Fitri, 2015).
b.      Enzim
Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia. Enzim yang terdapat dalam makanan dapat berasal dari bahan mentahnya atau mikroorganisme yang terdapat pada makanan tersebut. Bahan makanan seperti daging, ikan susu, buah-buahan dan biji-bijian mengandung enzim tertentu secara normal ikut aktif bekerja di dalam bahan tersebut. Enzim dapat menyebabkan perubahan dalam bahan pangan. Perubahan itu dapat menguntungkan ini dapat dikembangkan semaksimal mungkin, tetapi yang merugikan harus dicegah (Supli, 2015).

Merupakan metode pengawetan yang melibatkan pendekatan fisik. Metode pengawetan secara fisik mematikan mikroorganisme yang ada pada bahan pangan dengan cara pemanasan disertai dengan pengemasan yang mencegah terjadinya re-kontaminasi, atau dengan cara pengeringan yaitu pengurangan kadar air produk pangan yang diikuti dengan pengemasan yang mencegah terjadinya re-adsorpsi air. Berikut ini adalah macam-macam pengawetan makanan secara fisik :
a.    Pengeringan
Teknik pengeringan membuat makanan menjadi kering dengan kadar air serendah mungkin dengan cara dijemur, dioven, dipanaskan, dan sebagainya. Semakin banyak kadar air pada makanan, maka akan menjadi mudah proses pembusukan makanan. Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan makanan. Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam bahan, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia maupun enzimatis (Fitri, 2015).
b.   Pemanasan
Pengawetan makanan dengan metode pemanasan yaitu dengan cara :
Ø  Blansir (blanching)
Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari 1000C selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap air panas.
Ø  Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare dan penyakit perut lain.
Ø  Sterilisasi
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan berasam rendah. Yang tergolong bahan pangan berasam rendah adalah bahan pangan yang memiliki pH lebih besar dari 4,5 misalnya seluruh bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur dan ikan, beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung.
c.       Pengeluaran Udara (Oksigen)
Penghilangan udara akan mengeluarkan semua oksigen sehingga mencegah berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen, juga menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerobic (Fitri, 2015).
d.   Pendinginan
Teknik ini adalah teknik yang paling terkenal karena sering digunakan oleh masyarakat umum di desa dan di kota. Konsep dan teori dari sistem pendinginan adalah memasukkan makanan pada tempat atau ruangan yang bersuhu sangat rendah. Untuk mendinginkan makanan atau minuman bisa dengan memasukkannya ke dalam kulkas atau lemari es atau bisa juga dengan menaruh di wadah yang berisi es (Fitri, 2015).
e.    Teknik Iradiasi
Iradiasi pangan adalah suatu teknik pengawetan pangan dengan menggunakan radiasi ionisasi secara terkontrol untuk membunuh serangga, kapang, bakteri, parasit atau untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan (Fitri, 2015).
f.         Pengalengan
Pengalengan merupakan penerapan dari pengawetan dengan mempergunakan suhu tinggi, dengan melibatkan proses pengeluaran udara, pengemasan, pengaturan pH dan penggunaan suhu tinggi (sterilisasi) (Supli, 2015).
Sarden/lemuru (sardinella sp) memiliki bentuk mulut non protaktil dengan ukuran sedang, posisi sudut mulut ikan tersebut satu garis lurus dengan sisi bawah bola mata, tubuh berbentuk torpedo, sirip punggung berbentuk sempurna dan terletak di pertengahan dengan permulaan dasar didepan sirip perut, sirip dada di bawah linea lateralis, sirip perut sub abdominal, sirip ekor berbentuk bulan sabit (swagger, 2012). Lemuru (sardinella sp) adalah pemakan zooplankton danfitoplankton terutama copepoda. Ikan sarden kaya akan kandungan omega-3 yaitu EPA (eicosapentaenoic) dan DHA (docohexanoic acid ), salah satu jenis lemak tak jenuh yang di yakini punya banyak manfaat untuk kesehatan. Ikan sarden mengandung EPA 1.381 mg/100 gram dan DHA 1.138 mg/100 gram. EPA merupakan asam lemak tak jenuh yang mempunyai khasiat memperlebar salurandarah, mencegah pergeseran cairan darah, menurunkan tekanan darah,menurunkan lemak netral dalam cairan darah, meningkatkan HDL (high densitylipoprotein) yang merupakan kolesterol baik menekan LDL (low densitylipoprotein) yang merupakan kolesterol jahat, sehingga dapat mencegah penyakit jantung, mencegah kegemukan karena menekan bertambahnya sel lemak dan mencegah timbulnya beberapa jenis alergi. DHA merupakan salah satu asam lemak tak jenuh, bersama-sama dengan EPA merupakan vitamin F berfungsi mengaktifkan sel-sel otak. Fungsi lain dari DHA adalah menurunkan kepekatan kolesterol dalam cairan darah, mencegah pergeseran cairan darah, mencegah kanker, mencegah histamin penyebab alergi dan memperlambat proses penuaandan pemikunan (Ghufran, 2011).





3.1 Metode Pengawetan
Metode pengawetan ikan sarden dilakukan dengan cara pengalengan. Pengalengan merupakan salah satu pengawetan ikan dengan menggunakan suhu tinggi (sterilisasi) dalam kaleng. Pengalengan juga dapat didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit pada manusia khususnya) dan mikroba  pembusuk (penyebab kebusukan atau kerusakan bahan pangan). Dengan demikian sebenarnya pengalengan memungkinkan terhindar dari kebusukan atau kerusakan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi atau ada perubahan citarasa (Fadli, 2011). Pengalengan ikan ialah suatu cara pengawetan bahan pangan (ikan) yang dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dan disterilkan dan tujuan pengalengan ikan yaitu melindungi ikan dari  pembusukan dan kerusakan atau memperpanjang daya awet dan mendiversifikasikan hasil perikanan (Mayasari, 2013). Pengawetan makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara  pengolahan untuk menyelamatkan bahan makanan dari proses pembusukan. Pengalengan adalah salah satu cara pengawetan dengan menggunakan suhu tinggi (110 -120ºC). Suhu tinggi tersebut digunakan untuk mematikan semua mikroorganisme (bakteri pembusuk dan bakteri patogen seperti Clostridium botulinum, termasuk spora yang ada) agar produk menjadi lebih steril. Pengalengan merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan bahan makanan, terutama ikan dan hasil perikanan lainnya, dari pembusukan. Pengalengan ini daya awet ikan yang diawetkan jauh lebih bagus dibandingkan  pengawetan cara lain. Namun dalam hal ini dibutuhkan penanganan yang lebih intensif serta ditunjang dengan peralatan yang serba otomatis. Sebab dalam proses  pengalengan, ikan atau hasil perikanan lain dimasukkan dalam suatu wadah yang ditutup rapat agar udara maupun mikroorganisme perusak yang datang dari luar tidak dapat masuk. Selanjutnya wadah dipanasi pada suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula untuk mematikan mikroorganisme yang ikut terbawa pada  produk yang dikalengkan (Wulandari, 2009).




4.1 Proses Pengalengan Ikan
Secara umum proses pengalengan meliputi tahap–tahap persiapan bahan mentah, pemasakan pendahuluan, pengisian bahan ke dalam kemasan, pengisian medium, penghampaan udara, proses sterilisasi,  pendinginan  dan  penyimpanan (Winarno,  1994). Ikan secara alami dalam proses pemanfaatanya akan mengikuti pola kemunduran mutu, dimana setelah ikan mati akan  menjadi busuk dalam waktu 5 – 8 jam pada suhu kamar (25 – 30˚c). Oleh karena itu ikan yang masih segar hendaknya  segera  diolah  atau  dimanfaatkan.  Memastikan  dapat  dihasilkan  olahan  ikan  (produk akhir)  yang  bermutu  diperlukan tingkat  kesegaran  bahan  baku  yang  tinggi,  yaitu  dengan  tingkat mutu  organoleptik  minimal  7,5.  Sebab  ikan  segar  akan  melewati  tahap– tahap  pengolahan  yang mengarah  pada  seringnya  penanganan  secara  fisik,  sehingga  bila  tingkat  kesegaran  bahan  baku tidak cukup tinggi akan dihasilkan produk ikan kaleng yang tidak bermutu.
4.1.1                    Penyediaan dan Pemilihan Bahan Mentah
Persiapan bahan dimulai dari pemilihan bahan yang akan dikalengkan, pencucian, pemotongan menjadi  bagian– bagian  tertentu  dan  persiapan  untuk  proses  selanjutnya.  Pencucian  bertujuan menghilangkan kotoran- kotoran dan benda asing yangtidak diinginkan. Bagian ini juga diharapkan dapat  mengurangi  resiko  pertumbuhan  bakteri  yang  sangat  berguna  dalam  efektifitas  sterilisasi.  Pada  pengalengan,  kesegaran  ikan  memegang  peranan  sangat  penting.  Bila kesegaran  sudah  menurun,  maka  mutu  ikan  kaleng  ikut menurun.  Setelah  ikan  mati  jaringannya akan  mengalami  serangkaian  perubahan  yang  pada  akhirnya  dinyatakan  busuk  atau  tidak  dapat dimakan. Perubahan – perubahan ini terutama disebabkan oleh sistem enzim dalam tubuh ikan itu sendiri,  maupun  oleh  enzim  yang  berasal  dari  mikroorganisme  pembusuk.  Perubahan  oleh  enzim ikan  itu  sendiri  merupakan  penyebab  terjadinya  rigor  mortis dan  post  rigor.  Enzim  yang  berasal dari  mikroorganisme  menyebabkan  terjadinya  proses  pembusukan.  Pada  waktu  ikan  mati,  suplay oksigen ke jaringan otot berhenti dan aktifitas enzim berlangsung dalam kondisi  anaerobic. Pada kondisi  ini  ATP  (adenosin  triphosphate)  diuraikan  menjadi  ADP  (adenosin  diphosphate)  yang kemudian  mengeluarkan  dan  memindahkan  energi  ke  jaringan  otot  sehingga  dapat  berkontraksi. Kontraksi ini mencapai puncaknya (rigor mortis) ketika ATP dan pH mencapai minimum. Jaringan menjadi  lembek  kembali  (post  rigor)  dan  enzim  terus  menguraikan  protein  menjadi  senyawa nitrogen sederhana yang diperlukan bagi pertumbuhan mikroorganisme dan bersamaan dengan ini proses  pembusukan  masih  terus. Tempat,  cara  dan lama penyimpanan bahan mentah akan mempengaruhi mutu produk akhir. Sebab, dari dalam penanganan permulaan inilah mutu bahan mentah dapat ditentukan. Jadi, meskipun waktu disimpan dalam palka ikan masih segar tetapi apabila penanganan dan penyimpanan ikan secara sembarangan, maka suhu produk akhir pasti tidak akan memenuhi syarat. Persyaratan bahan mentah untuk pengalengan ikan lemuru adalah sebagai berikut : ikan yang diolah tidak berasal dari perairan yang tercemar baik disengaja atau tidak disengaja oleh kotoran manusia dan hewan yang dapat membahayakan kesehatanmanusia melalui produk yang dihasilkan. Ikan  mempunyai  mutu  yang  baik  dan  bersih,  segar  dan bebas  dari  setiap  bau  yang  menandakan adanya pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, serta bebas dari sifat alamiah lain  yang  dapat  menurunkan  mutu  produk  serta  tidak  membahayakan  kesehatan  serta  secara organoleptik bahan baku harus mempunyai rupa dan warna spesifik ikan lemuru, bau segar spesifik jenis, daging elastis, padat, dan kompak serta rasanya netral agak manis. Satu sifat khusus ikan lemuru adalah kulit/sisiknya yang lunak. Dalam persiapan pengalengan, kulit ikan ini tidak dibuang bahkan sangat dijaga jangan sampai ada terlalu banyak yang rusak atau terkoyak sampai  saat  ikan  lemuru  kaleng  tersebut  dihidangkan.  Karena  pada  warna  sisik  yang  putih keperakan itulah daya tarik ikan lemuru dalam kaleng (Belvi, 2006).
1.1.2                    Penanganan Bahan Mentah
Agar bahan  baku  ikan  lemuru  tetap  terjaga  mutunya  sebelum  di olah,  maka  dapat  dilakukan dengan pemberian garam dan es. Penggunaan garam untuk pengawetan dapat dilakukan bila jarak waktu sejak ikan ditangkap sampai pada waktu proses pengalengan tidak terlalu lama. Jenis garam yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan yangditetapkan oleh Depkes RI (SNI 01-3548.2-1994). Pendinginan dengan menggunakan es adalah cara pengawetan paling praktis dan sederhana bila penyimpanan sebelum pengalengan masih lama. Oleh karena itu, sebuah pabrik pengalengan dianjurkan agar menyediakan ruang pendingin khusus untuk menampung kelebihan ikan. Ikan yang baru datang sebaiknya dicuci bersih dan disortir untuk memisahkan ikan yang sudah rusak sebelum didinginkan kembali. Suhu terendah pada ruang pendingin mekanis sebaiknya ditentukan sampai 0˚C, sebab kalau lebih rendah lagi dikhawatirkan terjadi  slow freezingpada permukaaan badan ikan. Es  harus  dibuat  dari  air  yang  bersih,  yang  memenuhi  persyaratan  air  minum.  Dalam penggunaannya, es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar.
4.1.3. Penyiangan dan Pencucian
 Penyiangan  dan  pencucian  bahan  mentah  harus  diawasi  baik – baik,  sesuai  dengan  syarat – syarat kesehatan. Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan besarnya kerugian – kerugian akibat pembusukan dan kerusakan fisik. Ikan setelah disiangi lalu dicuci sampai bersih. Pencucian menggunakan  rotary drum  untuk menghilangkan sisik dan sisa darah yang masih menempel pada daging ikan. Air pencuci sebaiknya yang mengalir, sebab bila tidak kotoran akan terkumpul dalam bak  pencuci  dan  justru  akan  menjadi  sumber  kontaminasi  dan  pembusukan.  Air yang digunakan dalam semua proses harus memenuhi persyaratan standar air minum. Persediaan air bersih harus cukup banyak. Penyiangan dan pencucian bahan mentah harus diawasi sebaik-baiknya sesuai  dengan  persyaratan  kesehatan.  Sampah  dan  sisa-sisa  isi  perut  harus  segera  dibuang  dan diletakkan terpisah dari produk. Alat-alat yang digunakan segera dibersihkan kembali oleh petugas tersendiri agar pekerja tidak terganggu kebersihannya. Bak - bak sampah dan selokan pembuangan selalu  dibersihkan  setelah  selesai  operasi.  Sampah  dan  ruangan  yang  kotor  merupakan  sumber sumber bakteri pembusuk  maupun bakteri patogen, untuk itu harus sedapat mungkin dihindarkan dari produk dan mendapatkan perlakuan khusus.
4.1.4. Perlakuan Terhadap Bahan Mentah sebelum Dikalengkan
Potongan  ikan atau  daging  ikan  yang  telah  dimasukkan  dalam  kaleng  sebelum  ditambahkan saus dan kemudian ditutup biasanya sudah dalam keadaan masak, jadi bahan baku ikan segar yang akan  dikalengkan  itu  sebelumnya  mengalami  perlakuan berupa  cara – cara  pengolahan  atau pengawetan sesuai dengan jenis dan besar ikan sertajenis produk ikan kaleng yang akan diproduksi. Perlakuan pengolahan itu salah satunya adalah precooking atau pengukusan awal. Apabila daging dipanasi, maka sebagian air yang terkandung yang berasal dari protein daging akan keluar. Hal ini tergantung pada kandungan lemaknya. Sebab itu perlu sekali untuk mengukus ikan dan membuang airnya sebelum kaleng ditutup, yaitu dengan meniriskan atau mengukusnya sebelum dipotong-potong.  Lama  pengukusan  dan  suhu  yang  tinggi  tidak  boleh  berlebihan.  Apabila  suhu terlalu tinggi selain dapat mempengaruhi rupa dan tekstur ikan juga akan banyak air yang keluar. Hal  ini  akan  menyebabkan  menurunnya  mutu  ikan. Keseimbangan  antara  lamanya  pemasakan, tinggi suhu, mutu daging serta biaya produksi hendaknya selalu dijaga.
4.1.5. Pengisian Ikan dalam Kaleng
Pengisian bahan ke dalam kaleng harus seragam dengan tujuan mempetahankan keseragaman rongga  udara  (head  space),  memperoleh  produk  yang  konsisten  dan  menjaga  berat  bahan  secara tetap. Ukuran kaleng harus disesuaikan dengan besarikannya. Ikan – ikan lemuru yang besar atau sedang umumnya dikemas dalam kaleng berdiameter 3,01 inchi, dan yang berukuran kecil dikemas dalam  kaleng  yang  berdiameter  2,02  inchi.  Agar  mutu  ikan  tetap  baik,  cara pengisian ikan yang sudah dipotong-potong ke dalam  kaleng harus sepadat mungkin supaya tidak mudah  rusak  akibat  goncangan  waktu  pengemasan  atau  pengangkutan.  Umumnya  pengisian dilakukan dengan menggunakan tangan. Pemotongan ikan harus dibuat sesuai bentuk dan ukuran kaleng,  sehingga  isi  sebuah  kaleng  cukup  dengan  beberapa  potong.  Potongan  ikan  diperkirakan tepat dengan isi kaleng, sehingga jarak antara permukaan ikan setelah ditambah  brine  dengan bibir kaleng  kira-kira  setinggi  3  -  4,5  mm.  Hal  ini  untuk mendapatkan  ruang  hampa  yang  cukup.  Di dalam head spacekaleng yang normal terdapat banyak gas nitrogen dengan sedikit karbon dioksida dan  hidrogen.  Jumlah  oksigen  yang  masih  ada  pada  waktu  exhausting dan  double  seaming  pada umumnya  menurun  dengan  meningkatnya  korosi  dari  kaleng  dan  oksidasi  dari  produk.  Biasanya kandungan karbon dioksida, hidrogen atau oksigen dibawah 1 % dan selebihnya adalah nitrogen. Jika  menyimpang  dari  dari  kondisi  tersebut,  hal  ini bisa  memberikan  petunjuk  dari  perubahan  – perubahan yang terjadi di dalam kaleng yaitu apakahkaleng yang abnormal yang disebabkan oleh aktifitas  mikroba,  korosi  dari  kaleng  atau  kerusakan  produknya  sendiri.  Sebelum  dipakai  kaleng harus bersih dan kering.
4.1.6. Pemvakuman Udara
            Pemvakuman udara (exhausting) adalah penghampaan udara dan gas dari dalam kaleng yang telah terisi ikan. Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam wadah sebelum  operasi  penutupan.  Dalam  wadah  yang  sudah  ditutup  tidak  diinginkan  adanya  oksigen, karena  gas  ini  dapat  bereaksi  dengan  bahan  pangan  atau  bagian  dalam  kaleng  sehingga  akan mempengaruhi mutu, nilai gizi dan umur simpan produk. Exhausting juga berguna untuk  memberikan  ruangan  bagi  pengembangan  produk selama proses sterilisasi,  sehingga kerusakan  seperti  penggembungan  kaleng  akibat  tekanan  produk  dari  dalam  dapat  dihindarkan. Operasi exhausting dapat dilakukan dengan cara melewatkan kaleng yang masih terbuka (setelah tahap  pengisian)  ke  dalam  suatu  terowongan  (exhaust  box),  dimana  digunakan  uap  air  sebagai medium pamanasan.
4.1.7. Penambahan Medium
Pada  proses  pengalengan  ikan,  digunakan  banyak  jenis  medium  seperti  saus  tomat,  saus minyak,  dan  brine  tergantung  dari  jenis  ikan  yang  dikalengkan.  Selain  untuk  memberikan  rasa tertentu  pada  daging  ikan  yang  dikaleng  dan  menonjolkan  rasa  sedap  alami,  medium  pada  ikan kaleng  juga  mempunyai  fungsi  lain,  yaitu  memperpendek  waktu  sterilisasi  (mempercepat perambatan  panas)  terutama  untuk  medium  yang  berupa saus,  serta  dapat mengurangi korosi pada kaleng dengan cara menghilangkan udara. Medium yang dipakai  pada  proses  pengalengan  ikan  lemuru  adalah  saus  tomat,  saus  pepaya,  pengental,  garam,gula dan sebagainya. Suhu saus tomat pada waktu pengisian ke dalam kaleng adalah antara 70˚C – 80˚C.
4.1.8. Penutupan Kaleng
 Penutupan kaleng dilakukan dengan mesin penutup kaleng. Cara-cara penutupan kaleng adalah sebagai berikut : Kaleng dengan tutup diatasnya diletakkan pada lifterlalu dinaikkan, sampai tutup kaleng  merekat  pada  chuck,  lalu  rol  pertama  mulai  bekerja.  Mula-mula  mendekati  chuck. Perputaran  mesin  menyebabkan  tepi  tutup  kaleng  menyentuh  lekukan  pertama  pada  rol  pertama, sehingga  tepi  tutup  terlipat  ke  bawah  lalu  dibengkokkan  lagi  ke  atas.  Begitu  rol  pertama  selesai bekerja, rol kedua bekerja yaitu mendekati chuckdan dengan lekukan yang lebih lebar, rol tersebut menekan  lipatan  yang  sudah  terbentuk  pada  rol  pertama,  sementara  mesin  masih  terus  berputar. Setelah rol kedua selesai bekerja dan menjauhi  chuck,  lifterbersamaan kaleng yang telah tertutup turun  lagi  dan  selesailah  proses  penutupan  kaleng.  Pengujian  kaleng  dimulai dengan  pengukuran  seam  height   dan  seam  thickness.  Selanjutnya  dilakukan  pengukuran countersink,  seam heightyang merupakan dimensi maksimal dari suatu  seam  yang diukur sejajar dengan  lipatan  seam,  seam  thickness  yaitu  dimensi  maksimal  yang  diukur  secara  tegak  lurus terhadap lapisan yang membentuk  seam,  tightness rating  yaitu pemeriksaan visual terhadap derajat kekencangan  double  seam dilakukan  dengan  menganalisis  adanya  kerutan  dalam  cover  hook, overlap yaitu panjang bagian badan yang saling tindih dengan cover hook.
4.1.9. Sterilisasi
Keamanan  dan  stabilitas  makanan  dalam  kaleng  secara teknis  sangat  tergantung  pada  dua faktor utama, yaitu efisiensi penutupan kaleng sehingga menghasilkan penutupan yang hermetis dan seberapa  jauh  efisiensi  proses  sterilisasi  panas  dalam  menginaktifkan  mikroba  yang  menjadi penyebab potensial kebusukan makanan kaleng. Tujuan utama proses panas adalah untuk merancang kondisi pemanasan sehingga menghasilkan makanan kaleng yang steril komersil. Dalam steril komersil, masih terdapat beberapa mikroba yang masih dapat hidup setelah pemberian panas  (sterilisasi).  Namun  karena  kondisi  dalam  kaleng  selama  penyimpanan  yang  terjadi  dalam praktek komersial sehari – hari, maka mikroba tersebut tidak mampu tumbuh dan berkembang biak, sehingga tidak dapat membusukkan produk dalam kaleng. Proses pemanasan yang diperlukan  untuk  sterilisasi  makanan  kaleng  diantaranya  tergantung  pada  pH  produk  yang  akan diproses. Ikan yang termasuk makanan berasam rendahdengan pH di atas 4,5 memerlukan proses pemanasan  lebih  kuat,  dibanding  makanan  berasam  tinggi.  Sterilisasi  untuk  ikan  biasanya menggunakan  suhu  116˚C  atau  121˚ C,  dengan  waktu  proses  yang  bergantung  pada  cepat lambatnya  perambatan  panas  untuk  mencapai  titik  terdingin  makanan  dalam  kaleng.
4.1.10. Pendinginan
Kaleng  dikeluarkan  dari  retort  setelah  proses  dan  segera  didinginkan.  Jika  tidak  segera didinginkan, kemungkinan besar akan terjadi  over cooking  yang menyebabkan hangusnya daging. Pendinginan dilakukan dengan memasukkan keranjang berisi kaleng panas ke dalam bak air karena umumnya untuk produk kaleng menggunakan air. Cara lain adalah dengan memasukkan air dingin ke dalam retort setelah proses selesai. Hal ini dapat dilakukan jika retort yang digunakan bertipe tegak  atau  vertikal.  Sebelum  proses  dimasukkan  ke  dalam  air  dingin,  terkadang  kaleng  dicuci dengan  air  sabun  yang  hangat.  Selain  pendinginan  dengan  air,  ada  juga  pendinginan  udara  yaitu dengan membiarkan tumpukan kaleng di lantai sampai kering sendiri. Pendinginan dengan udara lebih murah tapi juga beresiko yaitu :terjadi  over cooking, perubahan daging ikan, banyaknya  air  yang  keluar  dari  daging  ikan,  sehingga  daging  menyusut  dan  dapat  memperbesar kemungkinan  kaleng  berkarat,  akibat  melekatnya  kotoran.  Lain  halnya  dengan  pendinginan  air, resiko di atas tidak akan terjadi. Untuk kaleng besar ataupun kaleng yang bentuknya tidak teratur, sebaiknya  didinginkan  dalam  retort  untuk  menghindari  tekanan  yang  berlebihan  dalam  wadah dengan mengurangi tekanan dalam retort secara berangsuran. Ini untuk mengimbangi berkurangnya tekanan dalam dalam kaleng yang juga berjalan lambat.
4.1.11. Pemeraman dan Pengepakan
Pemeraman  dilakukan  setelah  pendinginan  selama  satu minggu  dengan  cara  menempatkan kaleng  dalam  posisi  terbalik  pada  suhu  kamar  (25˚ – 30˚C)  untuk  mengetahui  kebocoran  kaleng. Kebocoran yang terjadi tidak hanya berakibat pada satu kaleng yang bocor, tetapi  akan  mempengaruhi  kaleng    kaleng  lain  di  sekitarnya.  Pengepakan  dilakukan  setelah pengeraman.  Kaleng  diletakkan  dalam  master  karton  double  wall dan  disusun  posisi  tegak.  Pada tahap ini dilakukan inspeksi akhir untuk melihat mutu produk akhir.
4.2. Kriteria Kaleng sebagai Bahan Pengemas
4.2.1. Spesifikasi Kaleng
Spesifikasi  kaleng  ditentukan  oleh  dua  kebutuhan,  yaitu  :  kebutuhan  akan  kekuatan  yang dimiliki  oleh  wadah  dan  daya  simpan  yang  dimiliki  oleh  produk  dalam  kaleng.  Kebutuhan  akan kekuatan  kaleng  perlu  disesuaikan  dengan  beberapa  hal,  yaitu  :  kecepatan  jalur  pengolahan, keadaan  dan  kondisi  alat  penutup  kaleng  (atmosfer,  aliran  uap  air,  kevakuman)  yang  banyak mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure cooling), serta cara penanganan pasca proses. Sedangkan kebutuhan terhadap daya simpan isi kalengditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih (tin free steelI), sifat – sifat  basic steel-nya,  place surface treatment, dan jenis  organic coating.
4.2.2. Kaleng Sebagai Bahan Pengemas
Pada unit pengalengan ikan kedudukan kaleng dengan  produk yang dikemas merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan daya awet (self life) produk pasca proses, sebab apabila mutu dari kaleng yang digunakan baik, maka selama proses dan setelah proses pengalengan selesai dapat  menjaga  kondisi  kaleng  agar  tetap  baik  (Buckle  et  al,  1987).  Kemasan  untuk  pengalengan harus  memenuhi  persyaratan  antara  lain  :  dapat  ditutup  secara  hermetis,  tahan  dalam  pemanasan suhu  tinggi  dan  aman  terhadap  produk  serta  mampu  melewatkan  panas  ke  dalam  produk  secara efektif.  Secara  konvensional  kaleng  terbuat  dari  besi  baja  dengan  kandungan  karbon  yang  relatif rendah  paling  umum  digunakan.  Berbagai  modifikasi  dilakukan  karena  makanan  yang  bersifat korosif  terhadap  kaleng  dapat  mencemari  produk.  Pelapisan  kaleng  dengan  seng   (Zn)  serta enamel/resin  tahan  panas  sesuai  dengan  sifat  produk yang  dikemas  telah  dikembangkan  untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa hal yang harus diperhatikan tentang kalengadalah sebagai berikut : konstruksi kaleng (bentuknya) harus sesuai dengan produk pengalengannya dan tahan waktu sterilisasi serta perlakuan yang akan dialami. Bagian dalam harus dilapisi lacqueryang tahan akan reaksi dari bahan – bahan kimia yang akan terbentuk yang berasal dari ikan yang dikaleng.  Coatingbagian luar juga harus tahan terhadap perubahan – perubahan keadaan yang akan dialami kaleng nantinya. Kaleng harus dipakai  pada  waktu  tertentu  setelah  sampai  ke  pabrik,  karena  ring  yang  terbuat  dari  karet  pada bagian tutupnya bila terlalu lama bisa rusak. Juga  kalengnya sendiri bisa karatan sebelum dipakai, demikian  juga  coatingnya.  Kaleng  juga  harus  ditutup dengan  mesin  penutup  yang  telah dipersiapkan  dengan  baik  sehingga  tutupnya  bisa  melekat  pada  bagian  kaleng  seperti  yang  telah ditentukan. Tetapi bagian luar dari tutup harus melengkung ke atas dan di bawah bibir badan kaleng yang  menonjol  keluar,  kemudian  ditekan  dengan  kuat  sehingga  udara  luar  tidak  bisa  masuk  ke dalam kaleng (kedap udara).  Head space  dalam kaleng harus cukup, sebab apabila kurang akibat pengembangan  isi  kaleng  selama  pemanasan  dapat menyebabkan  kebocoran  pada  kaleng.  Bagian luar kaleng harus dicuci bersih sebelum disimpan untuk mencegah menempelnya kotoran – kotoran yang  tidak  diinginkan,  misalnya  bila  ada  minyak  pelumas  yang  menempel  pada  kaleng  sehingga dapat merusak kaleng. Kaleng yang telah terisi produk harus disimpan dalam ruangan yang sejuk dan kering tanpa perubahan suhu yang mencolok.
4.2.3. Pelapisan (coating) pada Kaleng
Pelapisan  (coating)  dengan  bahan  organik  sangat  berguna  bagi  kemasan  kaleng  yang  akan digunakan  untuk  makanan,  yaitu  untuk  mencegah  reaksi  kimia  antara  permukaan  kaleng  dengan produk yang dikalengkan, terutama bila reaksi tersebut dapat menurunkan mutu produk.  Untuk  menghindari  kemungkinan  terjadinya  proses  karat  atau  perubahan  warna (discoloration)  produk,  pada  lapisan  terluar  dari  lapisan  kaleng  bagian  dalam  diberi  lapisan “lacquer” atau “coating”. Dari berbagai jenis coating, khusus untuk olahan ikan digunakan jenis SR (Sulphur  resistant)  atau  juga  disebut  dengan  C-enamel  yang  khusus  ditujukan  untuk  mencegah terjadinya  black sulfida, yaitu noda hitam hasil reaksi besi dengan sulfidamenjadi FeS. Hal ini disebabkan, daging ikan pada umumnyabanyak mengandung gugusan  sulfhydril(-SH) yang dapat bereaksi dengan unsur besi (Fe) dari tin platedan membentuk endapan hitam (FeS) yang menempel pada daging ikan pada waktu kaleng dibuka.
4.3. Bahan Pembantu
Bahan baku  dan  bahan  tambahan  yang  dipakai  harus  tidak merusak atau mengubah komposisi dan sifat khas ikansardin media saus tomat dalam kaleng, jenis dan  dosis  harus  sesuai  dengan  persyaratan  yang  berlaku  dari  Departemen  Kesehatan  RI.  Bahan pembentu  yang  biasa  digunakan  untuk  pengalengan  ikan  lemuru  adalah  air  dan  es.  Air  untuk penanganan  dan  pengolahan  harus  cukup  aman  dan  saniter,  berasal  dari  sumber  yang  diizinkan dengan angka Coliform (Angka Paling Memungkinkan-APM) maksimal 2 (dua) untuk tiap 100 ml air.  Air  tersebut  bertekanan  minimal   145,26  per cm (20  pound  per  square  inch).  Air  yang digunakan  untuk  tujuan  pencucian  dan  pengolahan,  sebelum  dibuang  harus  disaring  atau  dengan perlakuan  lain  sehingga  air  tersebut  bersih  memenuhi  persyaratan  air  dapat  diterima  lingkungan yaitu: suhu sesuai dengan suhu air lingkungan, pH kurang lebih 7. Air yang dipakai untuk kegiatan unit  pengolahan,  hendaknya  memenuhi  persyaratan  air minum  dan  secara  kontinyu  diperiksa  ke laboratorium  yang  telah  diakreditasi  oleh  pemerintah.  Es  harus  dibuat  dari  air  yang  bersih,  yang memenuhi persyaratan air minum. Penggunaannya es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih  agar  terhindar  dari penularan  dan  kontaminasi  luar.  Peranan  es  sangat  penting  sekali pada pengolahan ikan kaleng. Es berfungsi untuk menurunkan suhu pada ikan maupun air guna untuk menekan laju pertumbuhan bakteri pembusuk.



PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pembuatan ikan sarden merupakan teknologi pengawetan makanan dengan teknik pengalengan yang terbuat dari ikan sarden/lemuru. Pengalengan ini bertujuan untuk memperpanjang daya simpan. Pengalengan merupakan metode pemasakan bahan, pengisian bahan ke dalam kemasan, pengisian medium, penghampaan udara, proses sterilisasi,  pendinginan  dan  penyimpanan. Perpanjangan daya simpan terjadi karena mikroorganisme dan enzim dimatikan.
5.2 Saran
Bahan  baku  ikan  lemuru  yang  akan  diproses  sebaiknya dipilih  yang  benar-benar  segar sehingga  dapat  memberikan  mutu  produk  akhir  yang  baik.  Preparasi  sebelum  melakukan  proses pengolahan  ikan  lemuru  harus   dilakukan  secara  optimal  ,  sehingga  diharapkan  hambatan  – hambatan yang terjadi pada saat berjalannya alur proses dapat dihindari. Pemrosesan harus benar benar dengan baik dan steril agr produk yang di dapat optimal.





Belvi Vatria. 2006. Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru Fish Canning). Jurnal Belian Vol 5 No. 3 Tahun 2006:174-181. Politeknik Negeri Pontianak
Fadli, Wan Khairul. 2011. Manajemen proses pada pengalengan ikan lemuru (Sardinella Longiceps) di PT. Pasific Harvest Banyuwangi Jawa Timur. Akademi Perikanan : Sidoarjo
Fauzi akbari. 2015. Pengalengan ikan sarden. Universitas trunojoyo : Madura
Fitri Rahmawati, MP. 2015. Teknologi bahan makanan. Teknik Boga dan Busana FT : UNY
Maleva, D. 2011. Dasar-dasar pengawetan, teknologi hasil perikanan. Universitas Brawijaya: Malang
Mayasari, Lina Dwi. 2013. Pengaruh hasil tangkapan ikan lemuru terhadap produksi pengalengan ikan PT. Maya Muncar Banyuwangi. FakultasEkonomi Universitas Negeri Surabaya : Surabaya.
Nurnaningsih. 2015. Efektivitas pengawetan bahan makanan. Universitas Indonesia : Jakarta
Rasyid, A. 2013. Isolasi asam lemak tak jenuh majemuk omega-3 dari ikanlemuru (Sardinella Sp). Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional 30-31 Juli 2003. Jakarta.
Supli Effendi M. 2015.Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Lemlit Unpas : Bandung
Winarno, F. G, (1994). Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen, Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Wulandari, Dyah Agustin., Indah Wahyuni Abida., Akhmad Farid. 2009. Kualitas mutu Bahan mentah dan produk akhir pada unit pengalengan ikan sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar Banyuwangi. Jurnal KELAUTAN.